Membangun Komitmen

0

Written on 22.39 by Ed's-HRM

Dari beberapa milis yang membahas tentang dunia SDM, sering terlontar pertanyaan mengenai bagaimana kiat atau cara yang harus dilakukan oleh seorang manajer SDM ketika ada seorang karyawan yang menurut penilaiannya merupakan tenaga handal, berniat untuk mengundurkan diri atau ingin berkarir diluar perusahaan atau lebih tepatnya yang bersangkutan ingin keluar dari perusahaan. Pertanyaannya: apakah karyawan tersebut harus dipertahankan dengan konsekuensi perusahaan harus bernegosiasi atau melepaskannya juga dengan konsekuensi perusahaan harus merekrut karyawan baru yang mempunyai kompetensi minimal sama.

Seperti ada ungkapan bahwa “mempertahankan memang lebih sulit dari meraihnya” demikian juga ketika kita berhasil mendapatkan seorang karyawan yang handal dan mengembangkannya didalam perusahaan, kemudian karyawan tersebut setelah berkarier didalam perusahaan, menyatakan mengundurkan diri maka yaitu tadi sebagaimana tulisan diatas, perusahaan akan mendapatkan dilema, apalagi saat ini dimana dunia usaha demikian kompetitif tentu persoalan SDM handal merupakan hal yang utama bagi perusahaan. Kenapa demikian ? mari kita lihat beberapa pernyataan dari orang- orang yang berkompeten pada bidangnya :

“The only way we can beat the competition is with people”, kata Robert J. Eaton, chief Executive officer (CEO) Chrysler Corporation, produsen mobil terkemuka di Amerika Serikat (AS). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa meskipun kita dewasa ini berada di era teknologi canggih, peran Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menentukan keberhasilan perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Jeffrey Pfeffer (1994) memperkuat pernyataan Eaton dengan berargumentasi bahwa SDM merupakan sumber keunggulan daya saing yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Ia membandingkan kedudukan istimewa sumberdaya ini dengan sumber-sumber keunggulan daya saing lain yang kini semakin berkurang keampuhannya, seperti teknologi produk dan proses produksi. Sebagai contoh lain yaitu , perusahaan macam Xerox mampu menguasai pasar mesin fotokopi selama kurang lebih 13 tahun karena memiliki teknologi produk (first plain-paper copier) yang dipatenkan. Sekarang ini sulit sekali hal semacam itu diwujudkan mengingat daur hidup produk sudah semakin singkat sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Artinya, produk yang tahun tertentu, misalnya, tergolong canggih, satu atau dua tahun mendatang mungkin sudah menjadi produk yang tradisional dan konvensional.

Sementara itu, SDM mampu bertahan karena mereka memiliki kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk merumuskan visi dan strategi perusahaan serta kemampuan untuk memperoleh dan mengerahkan sumberdaya-sumberdaya lain dalam rangka mewujudkan visi dan menerapkan strategi perusahaan. Tentu saja kompetensi ini tidak dapat datang begitu saja melainkan harus ditumbuhkembangkan dengan melibatkan tidak hanya manajemen perusahaan tetapi juga SDM itu sendiri. Jadi, dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial, SDM adalah obyek sekaligus subyeknya. Namun SDM tidak akan termotivasi untuk berperan serta aktif dalam proses tersebut apabila mereka tidak memiliki komitmen terhadap perusahaan. Mengapa demikian? Yoash Wiener (1982) berpendapat bahwa dengan dimilikinya komitmen, maka SDM akan rela berkorban demi kemajuan perusahaan, bersedia memberikan perhatian yang besar pada perkembangan perusahaan dan memiliki tekat yang kuat untuk menjaga eksistensi perusahaan di dalam pasar. Salah satu perwujudannya adalah kesediaan SDM untuk berperan serta aktif dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial mereka.

Apakah komitmen itu? Charles O’Reilly (1989) mendefinisikannya secara sederhana sebagai ikatan psikologis seseorang terhadap suatu perusahaan. Ikatan ini, menurut Wiener (1982; 1988), tercipta karena adanya kepercayaan (belief) yang bersangkutan bahwa komitmen merupakan kewajiban moralnya terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Kepercayaan tersebut membuat komitmen menjadi fleksibel, maksudnya dapat berpindah-pindah mengikuti kepindahan individu dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Ikatan psikologis juga dapat tercipta apabila nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh seseorang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan tempat kerjanya. Namun, O’Reilly berpendapat bahwa kedua hal di atas tidak serta merta datangnya melainkan harus didahului oleh apa yang ia sebut sebagai compliance dan identification. Compliance adalah suatu kepatuhan individu terhadap keinginan perusahaan semata-mata karena yang bersangkutan ingin mendapatkan sesuatu dari perusahaan tersebut sedangkan Identification adalah suatu kebanggaan yang ada di dalam diri individu karena menjadi bagian dari perusahaan.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara membangun komitmen? Ada dua alternatif pendekatan yang dapat diterapkan. Pendekatan pertama dikembangkan oleh Wiener (1982; 1988). Ia mengatakan bahwa komitmen para pegawai perusahaan perlu dibangun sejak dini, yaitu mulai dari tahap rekrutmen dan seleksi. Pada tahap itu, perusahaan diharapkan hanya merekrut mereka yang memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau mereka dengan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan.

Dalam hal perusahaan “terpaksa” untuk merekrut para pegawai baru yang tidak memenuhi kedua persyaratan tadi karena tidak ada pilihan lain atau karena sebab-sebab lain, maka perusahaan dianjurkan untuk mengadakan proses sosialisasi segera setelah proses rekrutmen dan seleksi berakhir. Proses sosialisasi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan serta kemudian mendorong para pegawai baru untuk menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang mereka anut dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan. Tentunya apabila hingga proses sosialisasi berakhir masih terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang kiranya sangat sulit atau tidak mungkin diselaraskan di masa mendatang, maka perusahaan perlu menyarankan kepada yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari perusahaan.

Mungkin ada diantara para pembaca yang beranggapan bahwa pengunduran diri seperti itu sama artinya dengan pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi. Anggapan tersebut tidak salah tetapi Wiener mengingatkan bahwa mempertahankan seorang pegawai baru yang tidak memenuhi salah satu dari dua persyaratan di atas sama juga artinya dengan membuatnya terasing di dalam perusahaan. Dan apabila rasa keterasingan tersebut terus dipelihara, dikhawatirkan prestasi dan produktivitas kerja yang bersangkutan menjadi rendah.

Pendekatan kedua dikembangkan oleh Margaret Neale dan Gregory Northcraft (1988). Pendekatan ini mengemukakan tiga strategi membangun komitmen di dalam perusahaan. Strategi pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai irreversibility yang pada dasarnya bertujuan untuk membuat keberadaan individu di dalam perusahaan menjadi permanen.

Caranya, misalnya, dengan menciptakan suatu sistem pensiun pegawai yang sedemikian rupa sehingga apabila seorang pegawai keluar dari perusahaan, maka dana pensiun yang telah ia kumpulkan selama masa kerjanya di perusahaan tersebut menjadi hangus (tidak dapat diuangkan). Cara lainnya adalah dengan memberikan bekal keterampilan atau keahlian yang sangat spesifik untuk satu perusahaan yang tidak akan mendatangkan nilai tambah bagi seorang pegawai dalam hal ia pindah ke perusahaan lain. Jika kita perhatikan dengan seksama, maka sesungguhnya penerapan strategi irreversibility dapat dikatakan merupakan sarana bagi terwujudnya compliance di kalangan para pegawai mengingat motivasi mereka tetap bertahan di dalam perusahaan adalah untuk memperoleh sesuatu atau tidak ingin kehilangan sesuatu dari perusahaan tersebut.

Strategi kedua adalah visibility, yaitu membuat segala kontribusi pegawai bagi keberhasilan perusahaan menjadi kasat mata. Cara yang lazim dilakukan: memberikan penghargaan (apakah itu dalam bentuk uang atau non uang) kepada (para) pegawai yang memiliki andil dalam pencapaian target keuntungan perusahaan. Kalau perlu penghargaan diberikan dalam suatu upacara yang dihadiri oleh seluruh jajaran perusahaan.

Yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah tumbuhnya rasa bahwa apa yang telah dilakukan berguna bagi kemajuan perusahaan. Tumbuhnya rasa seperti itu sangat penting karena merupakan cikal bakal berkembangnya identification diantara para pegawai.

Strategi ketiga adalah participative decision making yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan. Edward Lawler III (1988) menyebutnya sebagai parallel suggestion di mana para pegawai dimintakan saran-sarannya oleh para pengambil keputusan. Salah satu perwujudan strategi ini adalah dilaksanakannya program pengendalian mutu terpadu (total quality control) di dalam perusahaan yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk memberikan sumbang saran melalui gugus-gugus kendali mutu (quality circles) yang ada. Sama seperti strategi yang kedua, strategi participative decision making juga bertujuan untuk menumbuhkembangkan identification di kalangan para pegawai sejalan dengan semakin intensifnya keterlibatan mereka dalam pengambilan berbagai keputusan yang penting bagi perusahaan.

Membandingkan pendekatan Neale dan Northcraft dengan pendekatan Wiener, tampak adanya perbedaan yang mendasar pada sifat pendekatannya: pendekatan Wiener lebih bersifat preventif karena “mencegah” masuknya orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau yang tidak memiliki kesesuaian nilai-nilai dan norma-norma dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan, sementara pendekatan Neale dan Northcraft cenderung bersifat reaktif karena beranggapan tidak mungkin mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan oleh Wiener. Meski terdapat perbedaan, sesungguhnya kedua pendekatan tersebut dapat saling melengkapi. Bagaimana pun juga pencegahan tetap perlu dilakukan, namun dalam hal perusahaan “tidak memiliki pilihan lain” dan proses sosialisasi tidak mampu mengatasinya, maka pendekatan Neale dan Northcraft dapat diterapkan sehingga pemutusan hubungan kerja serta pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi dapat dihindari.

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Posting Komentar