Problematika Organisasi Perusahaan

1

Written on 17.36 by Ed's-HRM

Ketika diterima oleh sebuah perusahaan untuk menjadi pengelola SDM, perusahaan ini sudah berdiri hampir 5 tahun dan saya adalah orang kelima yang menjadi pengelola SDM disitu. Sebagai orang baru tentunya kita harus melakukan identifikasi akan semua kegiatan yang berlangsung didalam perusahaan dan salah yang menjadi temuan adalah bahwa pada perusahaan ini tidak menggunakan pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan, semuanya hanya didasarkan pada pola kerja sehari-hari atau karena kebiasaan semata, itu artinya setiap karyawan tidak mempunyai atau mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam bekerja, semua hanya atas perintah atasan saja. Ketidakjelasan mengenai pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bukanlah hal yang mengherankan karena banyak perusahaan memang tidak melihat pola kerja ini sebagai sebuah kebutuhan tetapi banyak yang berfikiran bahwa pola kerja seperti ini hanya membatasi para karyawannya dalam melakukan pekerjaan. Sementara itu ada juga perusahaan yang dengan serius merancang dan membuat pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bahkan untuk pengerjaannya diserahkan kepada sebuah konsultan, namun setelah semua selesai dibuat dan didokumentasikan dengan bagus, para pengelola perusahaan tidak menggunakannya sebagai acuan dalam operasional sehari-hari sehingga apa yang sudah dibuat dengan biaya yang tidak sedikit, jadi hiasan saja.

Sebenarnya keberadaan pola kerja dengan mengacu atau tergambar dalam struktur organisasi sangatlah membantu perusahaan kedepan seperti dalam bukunya “The Second Curve”, Ian Morrison (1996) pernah mengindikasikan munculnya apa yang disebut pasar kurva kedua (second curve marketplace) di awal abad keduapuluh ini. Berbeda dengan pasar sebelumnya (ia sebut pasar kurva pertama), pasar kurva kedua jauh lebih dinamis dan penuh ketakpastian. Hal itu terutama disebabkan berubah-ubahnya selera dan keinginan konsumen sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi. Dengan demikian, konsumen yang puas pada saat ini belum tentu puas di masa mendatang. Untuk tetap memuaskan konsumen, tidak ada cara lain kecuali terus mengikuti pergerakan selera dan keinginan mereka (responsif). Responsif tidaknya suatu perusahaan banyak dipengaruhi oleh struktur organisasi yang dimilikinya karena struktur organisasi pada dasarnya merupakan peta alur kerja di dalam perusahaan.

Permasalahan lain yang muncul adalah ketika membuat struktur organisasi hanya berdasarkan faktor subjektif karena harus mengakomodir berbagai kepentingan dari fihak-fihak tertentu sehingga struktur menjadi gemuk dan tidak effisien. Bila kita kaitkan dengan situasi saat ini tentunya organisasi perusahaan yang “gemuk” akan membuat semakin kompleks dan birokratis peta alur kerjanya, semakin berliku-liku alur kerja dan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merespon perubahan pasar. Dengan kata lain, supaya responsif, perusahaan perlu memiliki struktur organisasi yang relatif sederhana dan tidak birokratis (ramping). Seperti apakah struktur yang ramping itu? Yang jelas tidak memiliki banyak posisi yang bisa menimbulkan duplikasi, dan tidak memiliki banyak tingkatan (jenjang) manajemen. Dengan demikian diperlukan adanya keberanian dari manajemen perusahaan untuk dapat menyusun struktur organisasi seobjektif mungkin. Akan tetapi ada persoalan lain yang kemudian akan muncul ketika struktur organisasi yang dibuat ramping adalah pada saat akan menempatkan personil pada sebuah jabatan (placement), pada proses inilah biasanya kita akan mengalami dilema karena ada faktor subjektifitas, untuk itu kita harus cepat membuat peralatan (tool) yang mendukung proses penempatan, selain itu tentunya harus berani untuk menolak setiap “ titipan” dari pihak-pihak tertentu.

Pembuatan dan penyusunan struktur organisasi perusahaan akan lebih mudah dilakukan untuk perusahaan baru atau yang akan berdiri namun sebaliknya untuk perusahaan yang sudah eksis, perubahan struktur organisasi terutama dalam rangka perampingan tentu akan berdampak terhadap berlebihnya personil. Perusahaan tentu harus sudah dapat mengantisipasi dampak dari program perampingan dimaksud, dengan berbagai solusi yang bisa diterima oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya para karyawan, sebagai ilustrasi dapat disampaikan bahwa pada era awal tahun 2000 dan mungkin sampai sekarang, banyak perusahaan di Indonesia maupun di Dunia yang melakukan langkah effisiensi dengan salah satu caranya adalah melaksanakan perampingan organisasi perusahaannya, langkah ini diambil karena mereka sudah tidak punya lagi pilihan yang terbaik untuk terus berkompetisi dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan kedepan. Konsekuensi dari perampingan ini adalah adanya karyawan yang harus meninggalkan perusahaan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Program PHK yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan besar dan menengah serta kecil, bervariasi dalam penanganannya dari yang menggunakan istilah “golden shakehand” sampai dengan ada yang pada akhirnya perusahaan mengalami masalah baru karena tidak baik dalam penanganannya.

Perkembangan teori organisasi perusahaan terus berlanjut sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan diantaranya bahwa suatu organisasi perusahaan harus terus berkembang dengan hal-hal yang lebih effisien (Organization Development), sebagai upaya mengantisipasi persaingan usaha. Salah satu metoda yang diterapkan adalah merubah sistim atau untuk hal-hal tertentu yang selama ini dianut yaitu sentralisasi menjadi desentralisasi, antara lain memberikan otonomi dalam hal kewenangan kepada unit-unit tertentu di dalam perusahaan. Dengan demikian terjadi pemotongan birokrasi yang berliku-liku, dengan pengertian bahwa yang menjadi kewenangan unit tersebut bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu instruksi dari pusat.Dengan pola ini apabila unit-unit tersebut terus berkembang maka unit-unit itu akan berubah menjadi unit bisnis tersendiri sehingga pada suatu saat akan menjadi apa yang disebut sebagai anak perusahaan, ini adalah sebuah pola atau sistem pendirian perusahan dengan metoda pengembangan organisasi. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak anak-anak perusahaan bukan berasal dari unit bisnis tetapi dibentuk langsung (instant) menjadi anak perusahaan sehingga operasional anak perusahaan seperti anak sapi yang harus disusui oleh induknya, artinya ketergantungan terhadap induk perusahaan sangat besar.

Sebaliknya dari contoh diatas adalah adanya beberapa perusahaan yang menjadi satu (merger) dalam artian dalam satu wadah manajemen sehingga membentuk induk perusahaan (holding company), semua perusahaan itu menjadi anak perusahaan sehingga ada kewenangan-kewenangan yang diambil alih oleh induknya, dengan pola ini bisa dibayangkan akan terjadi pengurangan tugas dan wewenang dari perusahaan akibatnya tentu saja terjadi pengurangan tenaga pada lapis-lapis atas, mungkin saja setingkat direktur. Sebagai perbandingan untuk pola ini juga terjadi didalam dunia militer kita dimana jumlah kodam yang saat itu 27 buah dipersempit menjadi 10 kodam saja, dan itu masih belum ada perubahan sampai saat ini, artinya apa, bahwa telah terjadi bahwa puluhan jenderal akan menganggur atau menjadi pati di mabes AD alias non job. Hal ini akhirnya membentuk faksi-faksi atau kelompok-kelompok untuk saling berebut kekuasaan di dalam tubuh militer saat itu. Namun menurut saya dampak positipnya adalah terjadi persaingan untuk menjadi yang terbaik merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mampu berpikir positip.

Contoh lain adalah dengan membuat organisasi horisontal (organization Horizontal), organisasi ini meminimalisasi keberadaan jabatan fungsional didalam perusahaan, yaitu dengan membentuk kelompok kerja ( pokja ) dan memberikan otonomi untuk mengambil kebijakan sendiri yang penting target-target perusahaan yang diberikan kepada pokja-pokja ini dapat tercapai. Untuk diketahui bahwa pokja dibentuk hanya untuk alur kerja yang inti saja artinya seluruh pekerjaan utama dari hulu ke hilir dikerjakan oleh pokja. Namun seringkali pengembangan organisasi tidak sesuai dengan budaya kita atau juga SDM perusahaan belum siap menerima perubahan yang signifikan sehingga dalam operasional seringkali terjadi hambatan, baik dari sisi sistem maupun SDMnya.

Jika kita perhatikan dari uraian-uraian diatas, maka kita akan mendapat gambaran betapa membuat struktur orgnisasi perusahaan bukanlah pekerjaan yang mudah, karena selain faktor-faktor teknis ada juga faktor non-teknis yang harus diperhatikan, jadi wajar saja jika ada perusahaan yang tidak terlalu mementingkan keberadaan sebuah struktur organisasi karena seringkali terungkap bahwa untuk membuatnya saja sudah susah apalagi untuk melaksanakannya..............

Strategi Mempertahankan SDM Handal

0

Written on 19.21 by Ed's-HRM

Seperti yang telah ditulis sebelumnya bahwa yang diperlukan untuk mempertahankan keryawan handal adalah dengan membangun komitmen diawal karyawan itu masuk, namun bagaimana jika memang karyawan sudah “given” dan kita harus membuat agar mereka betah di perusahaan, terutama bagi mereka yang dinilai potensial maupun yang handal. Untuk itu kali ini kita membahas mengenai hal yang lain dan merupakan kunci sukses beberapa perusahaan yang berhasil mempertahankan karyawan handalnya dengan strategi yang lain lagi. Jadi bagi sebuah perusahaan yang selalu dan terus bertahan bahkan selalu ingin yang terdepan dibanding para kompetitornya, tentu mempunyai keunggulan-keunggulan yang tidak bisa ditiru oleh para kompetitornya dan salah satu keunggulan itu adalah terletak pada Sumber Daya Manusia yang ada di perusahaan itu. Dengan begitu besarnya peran SDM dalam perusahaan tentu membawa para pengelolanya untuk terus mencari dan mencari strategi yang tepat agar para tenaga handalnya (SDM handal) mau tetap bertahan didalam perusahaan dan juga mampu menahan gempuran-gempuran dari luar perusahaan yang menginginkan tenaga-tenaga handal mereka. Apalagi saat ini sudah memasuki era globalisasi, dimana seperti kita bahwa era Globalisasi memang membuat lingkungan usaha gonjang-ganjing. Menggunakan istilahnya Rhenald Kasali, globalisasi menciptakan apa yang disebut sebagai lingkungan vertikal di mana perusahaan harus bertanding di atas tanah yang terus bergoyang sehingga pemanfaatan peluang usaha semakin sulit dan kemungkinan kegagalan menjadi semakin besar. Jeffrey Pfeffer mengatakan bahwa kunci keberhasilan memenangkan persaingan di lingkungan vertikal terletak di tangan SDM.

Yang menjadi persoalan, mengembangkan SDM yang nantinya bisa diandalkan bukan pekerjaan gampang. Ada perusahaan yang ingin potong kompas dengan mengambil SDM handal dari perusahaan lain. Kegiatan potong kompas ini semakin marak sehingga muncul fenomena baru: bajak membajak SDM. Contoh yang paling gres adalah SDM yang memiliki kemampuan/keahlian di bidang teknologi informasi (TI). Mereka sekarang jadi incaran banyak ‘pembajak’ SDM. Munculnya fenomena bajak-membajak tentu tidak menguntungkan perusahaan yang telah dengan susah payah mengembangkan SDM nya. Perusahaan tersebut mau tidak mau harus mencari jalan untuk mempertahankan SDM andalannya. Satu strategi yang umum diterapkan adalah dengan memberikan balas jasa tinggi yang baru bisa dicairkan setelah yang bersangkutan bekerja selama jangka waktu tertentu di perusahaan yang sama. Di AS, strategi ini dikenal sebagai Golden Handcuff.

Contohnya adalah AT&T yang pada tahun 1996 menyediakan paket balas jasa untuk Alex Mandl sebesar 10 juta dolar yang dapat dicairkan dalam jangka waktu 5 tahun. Tingginya balas jasa kepada Mandl bisa dimengerti mengingat ia telah disiapkan sejak lama untuk menjadi nahkoda AT&T. Mandl tidak hanya dikenal sebagai ‘orang dalam’ tapi juga dianggap tahu betul seluk beluk bisnis telekomunikasi. Macam Steve Ballmer di Microsoft.

Selama beberapa tahun, strategi golden handcuff cukup efektif menghambat arus eksodus SDM handal di AS. Namun di akhir tahun 1990-an semakin banyak perusahaan yang merasakan beban anggaran SDM yang semakin berat karena semakin besarnya balas jasa yang harus ditawarkan kepada SDM handal. Tambahan lagi, para pembajak SDM semakin berani menawarkan balas jasa yang (jauh) lebih tinggi. Contohnya adalah Teligent yang menawarkan paket balas jasa sebesar 20 juta dolar kepada Mandl yang dapat dicairkan dalam jangka waktu yang sama. Balas jasa yang besarnya mencapai dua kali lipat itu memang terbukti mampu membuat Mandl hengkang dari AT&T.

Dengan kata lain, strategi golden handcuff belakangan ini menciptakan semacam ‘perang harga’ yang tanpa berkesudahan. Perusahaan yang berkocek tebal lah yang bakal menang. Tapi masalah sebenarnya bukan sekedar tebal tipisnya kocek melainkan apakah uang sebanyak itu mampu mendatangkan pendapatan yang setara bagi perusahaan dengan mempertimbangkan ketakpastian lingkungan usaha. Semakin besar balas jasa yang ditawarkan kepada SDM, semakin besar risiko kegagalan usaha karena semakin besar biaya yang harus ditutup oleh pendapatan.

Ada strategi lain yang mungkin saja dapat diterapkan dan mengurangi kerugian yaitu dengan mengikat dalam bentuk kontrak dan adanya nilai transfer jika karyawan itu akan bekerja di perusahaan lain, sehingga biaya-biaya pengembangan bisa tertutupi, saat ini strategi itu diterapkan pada industri sepakbola profesional yang ada di liga-liga sepabola profesional di Eropah.

Namun masih adakah strategi alternatif yang lebih elegan ? Untuk menjawabnya, kita cukup kembali ke teori-teori motivasi. Teori pertama yang bisa dijadikan acuan adalah teori ‘motivator-hygiene’ (M-H) nya Frederick Herzberg. Teori M-H sebenarnya berujung pada kepuasan kerja, namun penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan turnover SDM serta antara kepuasan kerja dan komitmen SDM. Pada intinya, teori M-H justru kurang sependapat dengan pemberian balas jasa tinggi macam strategi golden handcuff karena balas jasa tinggi hanya mampu menghilangkan ketakpuasan kerja dan tidak mampu mendatangkan kepuasan kerja (balas jasa hanyalah faktor hygiene, bukan motivator).

Untuk mendatangkan kepuasan kerja, Herzberg menyarankan agar perusahaan melakukan job enrichment, yaitu suatu upaya menciptakan pekerjaan dengan tantangan, tanggung jawab dan otonomi yang lebih besar. Itulah yang dilakukan oleh Bill Gates yang mendelegasikan sebagian kekuasaannya ke Ballmer agar Ballmer tidak kabur (di samping balas jasa yang menggiurkan), hal ini yang disebut dengan nilai kepercayaan ( belief) sebagai bagian dari komitmen. Seperti kita ketahui akhirnya Ballmer terbukti tetap bertahan di Microsoft dan bahkan kemudian dipromosikan menggantikan Gates.

Teori kedua adalah teori Scientific Management (SM) nya Frederick Taylor. Banyak yang mengatakan bahwa teori tersebut sudah usang karena menyarankan spesialisasi pekerjaan. Tapi kenyataannya teori SM masih mampu mencegah eksodus para pengemudi truk pengirim paketnya UPS. Para pengemudi ini dapat dikatakan merupakan ujung tombak UPS sebab merekalah yang mengambil dan mengantarkan paket dari/ke tangan konsumen. Mempersiapkan individu untuk menjadi pengemudi yang handal (menguasai rute-rute pengiriman paket) membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.

Turnover pengemudi yang relatif tinggi jelas merugikan UPS sehingga memaksa manajemen perusahaan untuk meneliti sebab musabab hengkangya mereka. Dari situ diketahui bahwa ternyata beban kerja pengemudi terlalu besar karena mencakup bongkar muat paket di terminal/depo. Kegiatan bongkar muat ini yang kemudian dialihkan ke sekelompok karyawan lain. Dengan kata lain, UPS mempersempit cakupan (menspesialisasi) kerja para pengemudi menjadi hanya mengemudi dan mengambil/mengantar paket yang memang merupakan fungsi pokok mereka. Hasilnya: semakin sedikit pengemudi UPS yang pindah ke perusahaan lain.

Alternatif lain di luar teori-teori motivasi adalah Job Customization, yaitu menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi yang dihadapi oleh individu karyawan. Salah satu contohnya adalah flex hours yang diterapkan oleh Corning, penghasil barang-barang pecah belah kenamaan di AS. Corning menghadapi masalah banyaknya SDM andalan yang kerepotan membagi waktu antara kerja dan keluarga. Intinya, mereka mengeluh tidak punya waktu untuk keluarga. Dampak selanjutnya: kepuasan kerja dan kinerja mereka lambat laun menurun, dan bahkan ada diantara mereka yang berpikir untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan pola hidup mereka.

Manajemen Corning tidak mau membiarkan situasi dan pikiran seperti itu berkembang dan merambah ke seluruh perusahaan. Untuk itulah kemudian para karyawan diberikan fleksibilitas untuk bekerja hanya 3-4 hari dalam seminggu dengan jam kerja menjadi 12 jam per hari. Meski mereka tetap harus bekerja 40 jam seminggu, kebijakan tersebut setidaknya mengurangi waktu transpor dari rumah ke kantor dan kembali ke rumah. Mereka bisa menggunakan kelebihan waktu tadi untuk mengurus keluarga. Walhasil, kepuasan kerja dan kinerja karyawan meningkat bahkan melebihi perkiraan manajemen perusahaan, dan turnover SDM bisa diminimalkan.

Penyampaian strategi alternatif untuk mempertahankan SDM handal dimaksudkan agar perusahaan tidak terpaku pada sebuah strategi seperti golden handcuff yang walaupun masih cukup populer namun semakin lama tampak semakin berkurang keampuhannya, dan, yang lebih penting, penerapan strategi alternatif tersebut tidak berdampak membengkaknya biaya SDM sebesar penerapan strategi golden handcuff sementara efektivitasnya bisa lebih tinggi. Oleh karena itu sangat sesuai untuk diterapkan di perusahaan-perusahaan yang memiliki keterbatasan modal kerja.

Membangun Komitmen

0

Written on 22.39 by Ed's-HRM

Dari beberapa milis yang membahas tentang dunia SDM, sering terlontar pertanyaan mengenai bagaimana kiat atau cara yang harus dilakukan oleh seorang manajer SDM ketika ada seorang karyawan yang menurut penilaiannya merupakan tenaga handal, berniat untuk mengundurkan diri atau ingin berkarir diluar perusahaan atau lebih tepatnya yang bersangkutan ingin keluar dari perusahaan. Pertanyaannya: apakah karyawan tersebut harus dipertahankan dengan konsekuensi perusahaan harus bernegosiasi atau melepaskannya juga dengan konsekuensi perusahaan harus merekrut karyawan baru yang mempunyai kompetensi minimal sama.

Seperti ada ungkapan bahwa “mempertahankan memang lebih sulit dari meraihnya” demikian juga ketika kita berhasil mendapatkan seorang karyawan yang handal dan mengembangkannya didalam perusahaan, kemudian karyawan tersebut setelah berkarier didalam perusahaan, menyatakan mengundurkan diri maka yaitu tadi sebagaimana tulisan diatas, perusahaan akan mendapatkan dilema, apalagi saat ini dimana dunia usaha demikian kompetitif tentu persoalan SDM handal merupakan hal yang utama bagi perusahaan. Kenapa demikian ? mari kita lihat beberapa pernyataan dari orang- orang yang berkompeten pada bidangnya :

“The only way we can beat the competition is with people”, kata Robert J. Eaton, chief Executive officer (CEO) Chrysler Corporation, produsen mobil terkemuka di Amerika Serikat (AS). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa meskipun kita dewasa ini berada di era teknologi canggih, peran Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menentukan keberhasilan perusahaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Jeffrey Pfeffer (1994) memperkuat pernyataan Eaton dengan berargumentasi bahwa SDM merupakan sumber keunggulan daya saing yang “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”. Ia membandingkan kedudukan istimewa sumberdaya ini dengan sumber-sumber keunggulan daya saing lain yang kini semakin berkurang keampuhannya, seperti teknologi produk dan proses produksi. Sebagai contoh lain yaitu , perusahaan macam Xerox mampu menguasai pasar mesin fotokopi selama kurang lebih 13 tahun karena memiliki teknologi produk (first plain-paper copier) yang dipatenkan. Sekarang ini sulit sekali hal semacam itu diwujudkan mengingat daur hidup produk sudah semakin singkat sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Artinya, produk yang tahun tertentu, misalnya, tergolong canggih, satu atau dua tahun mendatang mungkin sudah menjadi produk yang tradisional dan konvensional.

Sementara itu, SDM mampu bertahan karena mereka memiliki kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk merumuskan visi dan strategi perusahaan serta kemampuan untuk memperoleh dan mengerahkan sumberdaya-sumberdaya lain dalam rangka mewujudkan visi dan menerapkan strategi perusahaan. Tentu saja kompetensi ini tidak dapat datang begitu saja melainkan harus ditumbuhkembangkan dengan melibatkan tidak hanya manajemen perusahaan tetapi juga SDM itu sendiri. Jadi, dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial, SDM adalah obyek sekaligus subyeknya. Namun SDM tidak akan termotivasi untuk berperan serta aktif dalam proses tersebut apabila mereka tidak memiliki komitmen terhadap perusahaan. Mengapa demikian? Yoash Wiener (1982) berpendapat bahwa dengan dimilikinya komitmen, maka SDM akan rela berkorban demi kemajuan perusahaan, bersedia memberikan perhatian yang besar pada perkembangan perusahaan dan memiliki tekat yang kuat untuk menjaga eksistensi perusahaan di dalam pasar. Salah satu perwujudannya adalah kesediaan SDM untuk berperan serta aktif dalam proses penumbuhkembangan kompetensi manajerial mereka.

Apakah komitmen itu? Charles O’Reilly (1989) mendefinisikannya secara sederhana sebagai ikatan psikologis seseorang terhadap suatu perusahaan. Ikatan ini, menurut Wiener (1982; 1988), tercipta karena adanya kepercayaan (belief) yang bersangkutan bahwa komitmen merupakan kewajiban moralnya terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Kepercayaan tersebut membuat komitmen menjadi fleksibel, maksudnya dapat berpindah-pindah mengikuti kepindahan individu dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Ikatan psikologis juga dapat tercipta apabila nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh seseorang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan tempat kerjanya. Namun, O’Reilly berpendapat bahwa kedua hal di atas tidak serta merta datangnya melainkan harus didahului oleh apa yang ia sebut sebagai compliance dan identification. Compliance adalah suatu kepatuhan individu terhadap keinginan perusahaan semata-mata karena yang bersangkutan ingin mendapatkan sesuatu dari perusahaan tersebut sedangkan Identification adalah suatu kebanggaan yang ada di dalam diri individu karena menjadi bagian dari perusahaan.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah cara membangun komitmen? Ada dua alternatif pendekatan yang dapat diterapkan. Pendekatan pertama dikembangkan oleh Wiener (1982; 1988). Ia mengatakan bahwa komitmen para pegawai perusahaan perlu dibangun sejak dini, yaitu mulai dari tahap rekrutmen dan seleksi. Pada tahap itu, perusahaan diharapkan hanya merekrut mereka yang memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau mereka dengan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan.

Dalam hal perusahaan “terpaksa” untuk merekrut para pegawai baru yang tidak memenuhi kedua persyaratan tadi karena tidak ada pilihan lain atau karena sebab-sebab lain, maka perusahaan dianjurkan untuk mengadakan proses sosialisasi segera setelah proses rekrutmen dan seleksi berakhir. Proses sosialisasi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan serta kemudian mendorong para pegawai baru untuk menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang mereka anut dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan. Tentunya apabila hingga proses sosialisasi berakhir masih terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang kiranya sangat sulit atau tidak mungkin diselaraskan di masa mendatang, maka perusahaan perlu menyarankan kepada yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari perusahaan.

Mungkin ada diantara para pembaca yang beranggapan bahwa pengunduran diri seperti itu sama artinya dengan pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi. Anggapan tersebut tidak salah tetapi Wiener mengingatkan bahwa mempertahankan seorang pegawai baru yang tidak memenuhi salah satu dari dua persyaratan di atas sama juga artinya dengan membuatnya terasing di dalam perusahaan. Dan apabila rasa keterasingan tersebut terus dipelihara, dikhawatirkan prestasi dan produktivitas kerja yang bersangkutan menjadi rendah.

Pendekatan kedua dikembangkan oleh Margaret Neale dan Gregory Northcraft (1988). Pendekatan ini mengemukakan tiga strategi membangun komitmen di dalam perusahaan. Strategi pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai irreversibility yang pada dasarnya bertujuan untuk membuat keberadaan individu di dalam perusahaan menjadi permanen.

Caranya, misalnya, dengan menciptakan suatu sistem pensiun pegawai yang sedemikian rupa sehingga apabila seorang pegawai keluar dari perusahaan, maka dana pensiun yang telah ia kumpulkan selama masa kerjanya di perusahaan tersebut menjadi hangus (tidak dapat diuangkan). Cara lainnya adalah dengan memberikan bekal keterampilan atau keahlian yang sangat spesifik untuk satu perusahaan yang tidak akan mendatangkan nilai tambah bagi seorang pegawai dalam hal ia pindah ke perusahaan lain. Jika kita perhatikan dengan seksama, maka sesungguhnya penerapan strategi irreversibility dapat dikatakan merupakan sarana bagi terwujudnya compliance di kalangan para pegawai mengingat motivasi mereka tetap bertahan di dalam perusahaan adalah untuk memperoleh sesuatu atau tidak ingin kehilangan sesuatu dari perusahaan tersebut.

Strategi kedua adalah visibility, yaitu membuat segala kontribusi pegawai bagi keberhasilan perusahaan menjadi kasat mata. Cara yang lazim dilakukan: memberikan penghargaan (apakah itu dalam bentuk uang atau non uang) kepada (para) pegawai yang memiliki andil dalam pencapaian target keuntungan perusahaan. Kalau perlu penghargaan diberikan dalam suatu upacara yang dihadiri oleh seluruh jajaran perusahaan.

Yang diharapkan dari penerapan strategi tersebut adalah tumbuhnya rasa bahwa apa yang telah dilakukan berguna bagi kemajuan perusahaan. Tumbuhnya rasa seperti itu sangat penting karena merupakan cikal bakal berkembangnya identification diantara para pegawai.

Strategi ketiga adalah participative decision making yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk berperan serta aktif dalam proses pengambilan keputusan. Edward Lawler III (1988) menyebutnya sebagai parallel suggestion di mana para pegawai dimintakan saran-sarannya oleh para pengambil keputusan. Salah satu perwujudan strategi ini adalah dilaksanakannya program pengendalian mutu terpadu (total quality control) di dalam perusahaan yang memberikan kesempatan kepada para pegawai untuk memberikan sumbang saran melalui gugus-gugus kendali mutu (quality circles) yang ada. Sama seperti strategi yang kedua, strategi participative decision making juga bertujuan untuk menumbuhkembangkan identification di kalangan para pegawai sejalan dengan semakin intensifnya keterlibatan mereka dalam pengambilan berbagai keputusan yang penting bagi perusahaan.

Membandingkan pendekatan Neale dan Northcraft dengan pendekatan Wiener, tampak adanya perbedaan yang mendasar pada sifat pendekatannya: pendekatan Wiener lebih bersifat preventif karena “mencegah” masuknya orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan bahwa komitmen merupakan kewajiban moral terhadap perusahaan tempat mereka bekerja atau yang tidak memiliki kesesuaian nilai-nilai dan norma-norma dengan misi, tujuan, kebijakan dan gaya pengelolaan perusahaan, sementara pendekatan Neale dan Northcraft cenderung bersifat reaktif karena beranggapan tidak mungkin mencegah masuknya orang-orang yang tidak diinginkan oleh Wiener. Meski terdapat perbedaan, sesungguhnya kedua pendekatan tersebut dapat saling melengkapi. Bagaimana pun juga pencegahan tetap perlu dilakukan, namun dalam hal perusahaan “tidak memiliki pilihan lain” dan proses sosialisasi tidak mampu mengatasinya, maka pendekatan Neale dan Northcraft dapat diterapkan sehingga pemutusan hubungan kerja serta pemborosan biaya-biaya rekrutmen, seleksi dan sosialisasi dapat dihindari.