Salah Rekrut

0

Written on 17.09 by Ed's-HRM

Rekrutmen karyawan adalah sebuah awal yang paling menentukan dari semua kegiatan pengelolaan SDM perusahaan, jika kita berhasil mendapatkan tenaga yang handal maka kedepan, pengelolaan SDM akan semakin mudah dalam proses operasional sehari-harinya, namun sebaliknya jika kita mendapatkan tenaga yang kurang baik maka tentunya akan berdampak pada proses berikutnya dan akan banyak menyita waktu untuk melakukan pembinaan secara kontinyu, agar mereka dapat berubah menjadi baik atau handal. Sebuah tantangan yang selalu timbul ketika kita mendapatkan tenaga baru adalah mengukur kinerja mereka sehari-hari, hal ini dilakukan untuk menentukan hasil kerja tim rekrut, apakah mereka berhasil atau tidak dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh mereka. Apapun hasil pengukuran kinerja yang dilakukan terhadap tenaga baru, tentunya akan memberikan masukan kepada para pengelola SDM untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses rekrutmen diwaktu yang akan datang (continoues improvement).

Harus kita sadari bahwa “tak ada gading yang tak retak”, ungkapan ini berlaku juga terhadap proses rekrutmen yang dilakukan oleh sebuah tim, baik itu yang dibentuk oleh Perusahaan itu sendiri ataupun diberikan kepada pihak ketiga untuk melaksanakannya. Ada pengaruh-pengaruh tertentu yang mengakibatkan proses rekrutmen tidak bisa berjalan secara utuh, pengaruh-pengaruh itu bisa datang dari internal maupun eksternal perusahaan ataupun dari personil tim rekruting itu sendiri, karena biasanya ada kepentingan-kepentingan yang harus dijalankan baik oleh tim maupun pribadi anggota tim. Kendala-kendala seperti ini akan mudah kita temukan pada proses rekrutmen yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah namun tidak menutup kemungkinan juga pada perusahaan swasta akan tetapi untuk perusahaan swasta kita akan mengalami kesulitan dalam menelusurinya, karena tentu kita harus menghormati hak para pemilik perusahaan.

Setelah kita melihat sedikit bahasan diatas dan dikaitkan dengan pokok bahasan kita kali ini yaitu salah rekrut atau sering penulis istilahkan “gagal rekrut” atau juga ada istilah lainnya disebut dengan “terpaksa rekrut”. Secara manajemen perusahaan, kesalahan dalam merekrut akan mempunyai dampak terhadap kinerja perusahaan, karena perusahaan akan mempunyai beban untuk menanggung tenaga baru selama berada di perusahaan, oleh sebab itu banyak perusahaan yang merekrut karyawan baru dengan sistim kontrak jangka pendek atau diberikan masa percobaan dengan jangka waktu yang tidak terlalu lama, sementara untuk lapis-lapis bawah, banyak perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada pihak ketiga (outsourching), walaupun semua diatur dalam UU ketenagakerjaan namun pada kenyataannya, banyak yang melanggar UU itu. Secara selintas persoalan ini seperti sebuah dilemma bagi perusahaan namun kenyataannya juga ketakutan akan salah rekrut dijadikan alasan juga oleh para pengusaha agar bisa melakukan kontrak kerja atau outsourching.

Persoalan yang muncul ketika kita salah merekrut adalah ada rasa “kasihan” kepada tenaga baru jika mereka harus diberhentikan ataupun kontrak kerjanya tidak diperpanjang, karena ada rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin dalam proses sehari-harinya sehingga ini akan menimbulkan rasa “iba” dari para user tenaga tersebut dan melaporkan kepada para pengelola SDM perusahaan bahwa tenaga yang baru mempunyai kemampuan yang baik, dan ini tentu saja ini akan “membantu” untuk membiarkan tenaga baru tersebut berada terus di perusahaan. Bisa saja tindakan para user bisa kita benarkan sepanjang di satuan kerja user terus dilakukan pembinaan terhadap tenaga baru tersebut, tetapi sebaliknya apabila satuan kerja user tidak melakukan pembinaan maka tentunya akan menambah beban perusahaan, disinilah seluruh komponen yang ada di perusahaan selalu harus melakukan koordinasi dengan pihak pengelola SDM perusahaan, demikian juga sebaliknya para pengelola SDM perusahaan harus juga terus aktif untuk turun ke satuan-satuan kerja user tenaga baru, agar keberadaannya terpantau dengan baik.

Persoalan lain yang muncul adalah bahwa tenaga yang direkrut merupakan “titipan” dari para pemilik perusahaan baik itu perusahaan pemerintah (dalam hal ini para birokrat sebagai pembina teknis) maupun swasta ( dalam hal ini para owner ataupun kewenangan para pimpinan perusahaan), akibat para pengelola perusahaan tidak dapat menghindari tenaga “titipan” ini, tentunya kita akan bersyukur apabila tenaga titipan ini mempunyai kemampuan yang mumpuni tetapi yang sering terjadi adalah mereka yang masuk jalur ini adalah mereka yang tidak mau berkompetisi di dunia kerja, secara logika kemampuannya bisa diragukan dan lebih bahaya lagi, mereka ini tidak bisa diberikan pembinaan dikarenakan merasa bahwa mereka masuk perusahaan adalah sebagai mata dan telinga dari para owner, akibatnya kita terpaksa harus “memelihara” tenaga ini, mungkin dalam jangka waktu yang lama bahkan mungkin saja sampai pensiun. Memang dari pengalaman yang penulis pernah terlibat dalam “titip-menitip” ini, tidak semua yang menjadi “titipan” merupakan tenaga yang kurang handal, tetapi ada juga yang memang berkemampuan baik apalagi ditunjang dengan basic pendidikan berasal dari perguruan tinggi terbaik di negeri ini.

Hal lain yang menjadi batu sandungan dalam merekrut tenaga baru adalah besarnya gaji yang bakal diterima tenaga baru, tidak bisa menjamin bahwa yang bersangkutan bersedia bergabung dengan perusahaan, karena gaji atau penghasilan yang kompetitif akan bisa menghindari salah rekrut, artinya kita bisa menolak tenaga baru ketika para tenaga baru tidak mempermasalahkan besaran gajinya, atau mengatakan terserah perusahaan untuk memberikan besaran gajinya, tenaga seperti ini lebih cenderung, mengambil untuk masuk ke perusahaan dulu, baru setelah berjalannya waktu akan banyak melakukan tuntutan-tuntutan. Padahal saat sekarang perusahaan akan menghargai prestasi lebih dahulu baru ada pemberian penghargaan, yang dapat saja berupa kenaikan penghasilan, jadi begitu banyak permasalahan dalam proses kegiatan rekrut ini.

Selanjutnya agar kita tidak salah dalam melakukan rekrumen atau gagal dalam rekrutmen dan bukan terpaksa rekrut, maka perlu kita lakukan seleksi dengan melakukannya melalui uji kompetensi, ada beberapa kompetensi yang dapat dijadikan pegangan kita dalam merekrut, antara lain :

1. Fleksibelitas : adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman

2. Menggunakan dan mencari Informasi motivasi dan kemampuan untuk belajar : adalah kompetensi tentang antusiasme untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.

3. Motivasi berprestasi : adalah kemampuan untuk mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan produktivitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tantangan kompetensi.

4. Motivasi kerja di bawah tekanan waktu merupakan kombinasi fleksibilitas,motovasi berprestasi,menahan stress dan komitmen organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas.

5. Kolaborasi : adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada orang lain, pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.

6. Orientasi pelayanan kepada pelanggan : adalah keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.

Kompetensi-kompetensi ini adalah kompetensi umum untuk seluruh lapisan, apabila kita akan merekrut tenaga manajerial tentu kompetensi diatas harus ditambah dengan kompetensi-kompetensi manajerial atau untuk tenaga-tenaga teknis, kompetensinya ditambah dengan kompetensi teknis, yang biasanya sudah ada didalam perusahaan dalam bentuk model kompetensi.

Proses rekrutmen adalah proses yang sarat dengan berbagai kepentingan banyak pihak walaupun kita tahu bahwa apabila yang menjadi inputnya sampah maka outputnya akan sampah juga, ini yang sebenarnya harus dimengerti oleh pihak-pihak yang merasa mempunyai kekuasaan, agar tidak terus memaksakan kehendaknya, demi kemajuan perusahaan itu sendiri.

Problematika Undang-Undang Tenaga Kerja

0

Written on 19.56 by Ed's-HRM

Sering kita dengar bahwa sampai dengan saat ini tahun 2011,banyak lembaga pelatihan yang mengundang para pengelola SDM perusahaan untuk mengikuti sosialisasi mengenai Undang-undang Tenaga kerja no. 13 Tahun 2003, apakah ini memang kebutuhan atau peluang bisnis semata ataukah kedua-duanya. Sudah sekian tahun UU itu diberlakukan namun tetap saja masih banyak pertanyaan dan keluhan dari para pengelola SDM Perusahaan mengenai UU tersebut, seolah UU itu menjadi sesuatu yang kontroversial, sebenarnya banyak para pengelola SDM Perusahaan merupakan pendatang baru (new comer) dan baru mengenal UU tersebut sehingga wajar saja jika setiap waktu muncul pertanyaan dan keluhan dari mereka akan tetapi bukan berarti muka-muka lama sudah mengerti atau memahami isi UU, bisa saja mereka membuat keputusan sendiri dengan pemahaman yang terbatas.

Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa pemahaman mengenai undang-undang tenaga kerja sering menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, apalagi jika ada para pengelola SDM yang berlatar belakang Sarjana Hukum maka sebuah pasal akan sering menjadi banyak pendapat dalam penafsirannya, sementara di lain fihak para penerbit bukupun tidak kalah sibuknya menerbitkan buku tentang turunan dari Undang-undang itu, buku ini memang banyak membantu dalam menafsirkan atau menjelaskan mengenai pasal-pasal dalam Undang-undang yang dinilai sering menjadi kontroversial, disisi lain juga kita menyadari bahwa pemahaman seseorang dalam menafsirkan setiap pasal akan berbeda jadi bagi seseorang bisa dikatakan jelas namun bagi orang lain sepertinya abu-abu saja, demikian seterusnya. Berbicara mengenai buku-buku turunan dari UU yang diterbitkan, sayangnya buku-buku itu tidak memuat seluruh isi dan pasal-pasal dari Undang-undang karena masih ada juga pasal-pasal yang belum ada turunannya ataupun ada semuanya maka bisa kita bayangkan seberapa tebal buku itu, dan akan menjadi mahal harganya.

Ada contoh sederhana dari pasal 79 dan pasal 82 yang sering kita perdebatkan mengenai isi dari pasal tersebut dalam Undang-undang misalnya mengenai cuti karyawati yang mendapat cuti melahirkan apakah masih berhak mendapat cuti tahunan atau ada karyawan atau karyawati yang mendapat cuti melaksanakan Ibadah Keagamanaan juga masih mendapat cuti tahunan ? atau ada karyawan yang sakit berbulan-bulan masih berhak mendapat cuti tahunan. Untuk pertanyaan ini, jika penulis yang menjawab tentunya hak cuti hanya 1 kali dalam 1 tahun jadi apabila ada kepentingan karyawan memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu cuti maka silahkan karyawan atau karyawati melaksanakannya sesuai kepentingannya dan itu diatur juga harus diatur oleh UU namun setelah itu yang bersangkutan tidak lagi mendapat hak cuti dalam tahun berjalan, mungkin saja pemikiran saya tersebut bisa diperdebatkan lagi. Asumsi pemikiran itu bisa dilogikakan bahwa tiak mungkin seorang karyawan atau karyawati bisa mendapat cuti berbulan-bulan jika semua peraturan cuti yang tertuang didalam Undang-undang itu harus diimplementasikan. Masih banyak lagi polemik mengenai isi Undang-undang itu seperti misalnya mengenai tenaga kontrak (PKWT/KKWT),outsourching, penerapan pemberian pesangon, dll, semua masih sering harus diperdebatkan terutama berkaitan antara adanya kepentingan karyawan dan pengusaha.

Adalah hal yang wajar ketika sebuah perusahaan merekrut tenaga HRD yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Hukum, karena bagi perusahaan persoalan penafsiran UU menjadi kebutuhan utama perusahaan saat itu. Sebenarnya perbedaan penafsiran maupun perbedaan pandangan didasarkan pada sudut kepentingan masing-masing akan tetapi hal ini tidak perlu terjadi apabila di perusahaan sudah ada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ataupun peraturan perusahaan yang mengatur semua dengan menginduk kepada UU dan biasanya PKB,KKB maupun peraturan perusahaan lebih detail dibanding UU, sementara untuk tenaga kontrak dibuat dengan sedemikian rupa dengan menuangkan pasal-pasal dalam UU untuk tenaga kontrak, sehingga kelak tidak ada perdebatan, yang penting seluruh isi kontrak tidak lebih rendah dari UU. Selanjutnya bukan berarti bahwa dengan direkrutnya seorang sarjana hukum oleh sebuah perusahaan menandakan bahwa perusahaan itu belum mempunyai perangkat peraturan yang dapat dijadikan landasan hubungan bipartit.

Dengan banyaknya masalah yang berkaitan dengan Hubungan Industrial seperti diatas maka diperlukan solusi yang komprehensif, agar tidak terjadi perdebatan yang tidak berujung, dan salah satu solusi yang paling baik adalah dengan membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ataupun Peraturan Perusahaan (PP), pembuatan ini merupakan sebuah solusi yang terbaik agar tidak terjadi salah penafsiran UU, karena dengan adanya PKB/KKB atau PP merupakan landasan kita menyelesaikan masalah hubungan industrial dan merupakan kewajiban perusahaan untuk membuat itu. PKB/KKB ataupun PP semuanya mengacu kepada UU sebagai induknya dan tentunya isinya harus lebih detail dari UU atau dengan kata lain jika kita membuat PKB,KKB atau PP haruslah memuat turunan dari UU dengan bahasa yang mudah difahami secara logika ataupun nalar para karyawan. Seperti kita ketahui bahwa memang dalam membuat PKB/KKB atau PP haruslah melibatkan karyawan, paling tidak ada yang mewakili dalam hal ini biasanya diwakili oleh serikat pekerja (jika ada) namun jika belum ada serikat pekerja maka dimintakan perwakilan yang ditunjuk oleh seluruh karyawan.

Banyak perusahaan terutama dengan skala menengah kebawah dan merupakan perusahaan keluarga, biasanya perusahaan-perusahaan ini kurang memperhatikan perlunya PKB/KKB atau peraturan perusahaan sehingga ketika terjadi permasalahan antara Perusahaan dan karyawannya maka akan menimbulkan masalah yang didasarkan pada perbedaan penafsiran isi UU ketenagakerjaan, akibatnya terjadi ketegangan-ketegangan antara perusahaan dan karyawan yang kemudian membawa persoalan itu ke serikat pekerja dan akhirnya persoalan dimediasi atau diselesaikan oleh Dinas Tenaga Kerja setempat. Akan lebih repot lagi jika saat persoalan yang dimediasi oleh Disnaker tidak mempunyai titik temu sehingga harus dilanjutkan melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan akan menjadi lebih repot lagi jika salah satu pihak tidak menerima putusan pengadilan maka perkaranya dapat diajukan ke Mahkamah Agung untuk pengajuan banding. Dengan demikian sebuah persoalan yang tadinya tidak terlalu rumit akan menjadi atau menyita perhatian serius untuk itu akan banyak waktu yang diperlukan untuk penyelesaiannya belum lagi biaya dan tenaga.