Written on 17.43 by Ed's-HRM
Jika kita memperhatikan
beberapa iklan lowongan kerja di beberapa media massa baik cetak maupun
elektronik, maka ada beberapa lowongan yang membutuhkan tenaga yang khusus
untuk mengelola tentang Kompensasi dan Benefit pada sebuah perusahaan, jadi
demikian pentingnya pengelolaan tentang Kompensasi dan Benefit sehingga
perusahaan dimaksud memerlukan tenaga
khusus dan tenaga yang dibutuhkan juga tidak sembarangan yaitu pada level
Manajer. Dari pengamatan penulis mengenai perusahaan yang membutuhkan tenaga
ini memang merupakan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki karyawan diatas
seribu orang dan beragam tugas dan tanggungjawabnya dalam perusahaan serta
dengan berbagai level atau tingkatan jabatan, namun tentu saja yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang melatarbelangkangi dibutuhkannya tenaga ini.
Seperti kita ketahui bersama
bahwa mengelola Kompensasi dan Benefit adalah bagian dari pengelolaan Sumber
Daya Manusia Perusahaan, Kompensasi adalah imbal jasa yang diberikan oleh
perusahaan karena adanya hubungan kegiatan pekerjaan dan imbal jasa ini langsung
diterima karyawan sementara Benefit adalah bentuk kompensasi yang tidak
langsung diterima karyawan dalam bentuk materi tetapi merupakan fasilitas
kesejahteraan. Untuk perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, pengelolaannya
dilakukan langsung oleh Manajer HRD sedangkan untuk perusahaan besar,
pengelolaannya memang dibuat khusus karena pengelolaan Kompensasi dan Benefit
sangat erat kaitannya dengan strategi maupun kebijakan-kebijakan perusahaan.
Pemberian Kompensasi kepada karyawan pada dasarnya diawali dari Visi,misi dan
strategi unit kerja SDM sebagai pengelola, dan tentu saja bahwa unit kerja SDM
membuat Visi,misi dan strategi tentunya juga berdasarkan dari Visi, misi dan
strategi perusahaan, sebagai contoh adalah bagaimana para pengelola SDM
berupaya mempertahankan seorang karyawan handal dengan memberikan imbal jasa
yang sesuai dengan kontribusinya serta memberikan Benefit yang kompetitif,
dengan bertahannya tenaga handal di perusahaan tentunya akan membuat
target-target perusahaan dapat tercapai.
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam membuat sebuah sistim kompensasi diperusahaan yaitu :
1.
Kompensasi harus memenuhi rasa keadilan bagi setiap karyawan ( Internally Equitable)
2. Mempunyai nilai dalam bersaing dengan nilai pasar tenaga kerja (Externally Competitiveness)
3. Pemberian Kompensasi akan menunjang keberhasilan perusahaan (Performance Driven)
4. Berdasarkan kemampuan perusahaan (Affordable)
5. Memenuhi perundangan yang berlaku (Legally
Defensible)
6. Setiap orang mudah memahami dan mengerti akan sistim kompensasinya (Explainable)
7. Fleksibel terhadap perkembangan bisnis perusahaan (Managable)
Dengan sistim Kompensasi yang dibangun sedemikian rupa dan berdasarkan
kepada hal-hal diatas maka tujuan dari pemberian Kompensasi akan tercapai yaitu
:
• Memikat
karyawan
• Mempertahankan karyawan
• Memotivasi karyawan
Untuk
itu ada hal yang menarik untuk diperhatikan dan menjadi tantangan bagi para
pengelola sistim Kompensasi adalah
bagaimana sistim Kompensasi mampu menjaga rasa keadilan (internal
Equitable) dalam perusahaan dengan besaran nilai pasar tenaga kerja kerja (Externally
Competitiveness), agar terjadi keseimbangan itu maka para pengelola Kompensasi
berupaya melakukan maintenance terhadap sistim dan besaran nilai kompensasi
yang ada didalam perusahaan. Salah satu kegiatan yang harus dilakukan adalah
mengikuti survey gaji pada lembaga yang dinilai mempunyai tingkat kepercayaan
yang tinggi dan lembaga ini banyak
terdapat di Indonesia, dan pada tulisan kali ini tidak terlalu banyak membahas
mengenai kompensasi ini karena telah dibahas sebelumnya mengenai gaji atau
penghasilan. Namun yang tidak kalah pentingnya juga adalah bagaimana melakukan
perencanaan untuk mengelola program
Benefit didalam perusahaan dan dibawah ini akan dijelaskan mengenai hal
dimaksud.
Pertimbangan strategik dalam perancangan program
benefits
Para
pengelola Benefit harus mempertimbangkan dengan hati-hati tentang apa yang
ingin mereka capai sehubungan dengan program benefitsnya. Hal ini dikarenakan
besarnya anggaran yang harus disediakan perusahaan untuk benefit. Untuk dapat
mengungkit dampak dari anggaran yang besar tersebut, para pengelola harus
memperhatikan beberapa hal besar dibawah ini :
- Rencana strategik
bisnis jangka panjang
Pada
tahap perkembangan awal, perusahaan umumnya menawarkan gaji dasar dan benefit
yang rendah, namun insentifnya besar. Sedangkan pada tahap dewasa, perusahaan
akan lebih royal dalam ketiga bentuk kompensasinya. Selain itu, perubahan
kondisi seperti downsizing, akuisisi, pemberhentian geografis, dan perubahan
dalam laba juga akan berpengaruh dalam hal perubahan kombinasi optimum
benefits, yang harus konsisten dengan rencana bisnis perusahaan.
- Diversitas dalam
angkatan kerja berarti ada diversitas dalam preferensi benefit
Karyawan
muda umumnya lebih senang dengan pembayaran langsung daripada program pensiun.
Sedangkan karyawan tua akan lebih senang yang sebaliknya. Karyawan yang
memiliki serikat mungkin lebih senang dengan benefit yang seragam, sedangkan
bagi yang memiliki cacat tubuh atau orangtua tunggal akan senang dengan jam
kerja yang fleksibel.
Pemerintah
memiliki peran besar dalam mengatur benefits. Sementara perusahaan memfokuskan
untuk mengendalikan biaya, pemerintah menginginkan kesejahteraan sosial dan
ekonomi bagi rakyatnya.
- Kekompetitifan
dari benefits yang ditawarkan
Isu
mengenai ini lebih besar dari isu kekompetitifan gaji. Dalam hal gaji,
manajemen dan karyawan hanya perlu fokus pada pembayaran langsung, baik tetap
maupun variabel. Sedangkan dalam hal benefits, fokus perusahaan adalah pada
biaya, sementara karyawan berfokus pada nilai.
- Strategi
kompensasi total
Sesuai
dengan tujuan utama penyusunan kompensasi, yaitu untuk mengintegrasikan gaji,
insentif, dan benefit dalam satu paket yang mendorong pencapaian tujuan
organisasional, maka benefit yang ditawarkan harus efektif dengan tujuan
tersebut. Misalnya, benefit program pensiun saja mungkin tidak berpengaruh
banyak bagi kinerja keseharian karena jauhnya jarak antara kinerja dengan waktu
benefit diterima.
Dalam
semua kasus, pertimbangan kecukupan, kesamaan, pengendalian biaya, dan
keseimbangan harus menuntun pengambilan keputusan dalam strategi kompensasi
total diatas. Ada beberapa komponen kunci dari paket benefits, yaitu :
a. Biaya
: berdasarkan survei pada tahun 2000, rata-rata prosentase benefits dari gaji
adalah 30%. Jumlah ini bervariasi sesuai ukuran perusahaan. Perusahaan besar
umumnya memberi benefits lebih banyak.
b. Benefit kesehatan dan keamanan :
termasuk didalamnya berbagai jenis asuransi, tunjangan Kesehatan,pensiun, izin
sakit, dana pensiun, dan lain sejenisnya.
1. Asuransi jiwa : Asuransi
ini biasanya diperbarui setiap satu tahun dan akan dihentikan apabila karyawan
keluar dari perusahaan. Besarnya nilai asuransi umumnya sekitar dua kali gaji
tahunan karyawan. Saat ini, asuransi jiwa banyak dipengaruhi oleh program
benefit fleksibel. Misalnya, perusahaan membayar sekian untuk asuransi jiwa
karyawan, namun ada beberapa paket tambahan yang dapat dipilih karyawan sesuai
preferensinya dan nantinya akan dipotong dari gaji.
2. Kompensasi pekerja :
yang termasuk didalamnya adalah pembayaran untuk menggantikan upah yang hilang,
biaya kesehatan media dan rehabilitasi, dan pelatihan ulang utnuk melakukan
pekerjaan yang berbeda. Umumnya di setiap negara ada Undang-Undang yang
mengatur mengenai kompensasi ini.
3. Asuransi kecacatan :
yaitu mencakup pembayaran atas kematian yang tidak disengaja, serta pembayaran
apabila karyawan mendapat kecacatan. Cacat jangka panjang (6 bulan atau lebih)
biasanya membayar tidak lebih dari 60% dari gaji dasar karyawan sampai mereka
mulai menerima dana pensiun.
4. Tunjangan rumah sakit, operasi, dan
maternitas : ini adalah tunjangan yang sangat penting bagi karyawan
karena biayanya bisa sangat besar. Tentu saja, sama dengan perusahaan, biaya
operasional dari tunjangan ini bisa memberatkan, mengurangi laba, dan mengurangi
kekompetitfan perusahaan secara global. Isu-isu kompetitif dari biaya kesehatan
ini umumnya parah pada perusahaan dengan jumlah pekerja berusia 40-50 tahun
yang banyak, tunjangan kesehatan yang lebih banyak bagi karyawan yang telah
pensiun, dan perusahaan dengan produk yang harus bersaing dalam pasar
dunia.Apabila perusahaan ingin mengurangi biaya besar yang ditimbulkan dari
tunjangan rumah sakit, operasi, dan maternitas diatas, perusahaan dapat
melakukan beberapa strategi biaya seperti :
a. Bergabung dengan
perusahaan lain untuk membentuk hubungan yang lebih kuat dalam menegosiasikan
biaya-biaya rata-rata dengan insurer.
b. Bekerjasama
dengan rumah sakit, insurer, dan pemasok lainnya.
5. Program izin sakit :
menyediakan pergantian upah atas ketidakhadiran jangka pendek karyawan akibat
sakit. Dalam prakteknya, benefit ini sering disalahgunakan oleh karyawan.
Mereka sering memandang bahwa izin sakit adalah hak yang harus digunakan
meskipun mereka tidak sakit. Untuk mengatasinya, perusahaan dapat beralih ke
program “managed-disability”.
6. Pensiun : adalah
sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur pada intervalnya kepada karyawan
yang telah pensiun dan berhak menerimanya. Pensiun swasta jarang ditemui
sebelum Perang Dunia II, sebelum adanya peraturan dari National Labor Relations
Board dan klarifikasi mengenai perlakuan pajak dari kontribusi perusahaan. Di
Amerika saat ini, dana pensiun yang disisihkan perusahaan telah menjadi sumber
modal terbesar negara.
7. Keamanan sosial :
adalah program perawatan pendapatan. Ini adalah pertahanan terbaik dalam
mengatasi ketidaksejahteraan orang-orang tua. Pajak pendapatan yang diperoleh
dari pekerja yang masih bekerja didistribusikan untuk membayar benefits bagi
mereka yang telah pensiun. Saat ini perbandingan antara mereka yang masih
bekerja masih 3:1, namun akibat ekspektasi hidup yang semakin panjang dan peningkatan
jumlah pensiunan dari baby boomers, pada tahun 2030 diprediksikan bahwa pajak
keamanan sosial hanya akan menutupi 75% dari benefits yang dijanjikan. Meskipun
Social Security ini tidak menutupi semua kebutuhan pensiunan (hanya sekitar 45%
di US, sisanya dari tabungan pribadi atau dana pensiun), namun sistem ini
mungkin harus segera direformasi untuk menangani ketersediaan dana beberapa
tahun mendatang.
8. Asuransi pengangguran :
Di negara-negara maju, pekerja umumnya memiliki benefit ini. Namun demikian,
ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi agar pengangguran berhak
menerimanya. Syarat-syarat tersebut bervariasi di setiap negara, namun biasanya
berupa (1) pekerja harus mampu, mau, dan aktif mencari pekerjaan, (2) pekerja
tidak boleh menolak pekerjaan yang sesuai dengannya, (3) bukan menjadi
pengangguran akibat perseteruan pekerja, (4) tidak boleh meninggalkan
pekerjaan, (5) bukan diberhentikan karena kesalahan dalam pekerjaan, dan (6)
harus telah pernah bekerja sebelumnya dan menghasilkan sejumlah uang.
Dana yang digunakan untuk benefit ini berasal dari pajak yang ditanggung
perusahaan atas klaim dari karyawan maupun tingkat turnover yang tinggi.
9. Pembayaran severance :
tidak diwajibkan secara hukum dan banyak perusahaan tidak menawarkannya karena
telah ada kompensasi pengangguran. Namun program ini digunakan secara ekstensif
oleh perusahaan yang melakukan downsizing. Misalnya, perusahaan memberi
tambahan beberapa bulan gaji apabila karyawan setuju untuk pensiun sesuai waktu
yang disepakati, contoh lainnya dalam hal takeover, apabila yang diberhentikan
adalah setara top manajemen, mereka akan menerima pesangon yang besarnya
mencapai 2-3 tahun gaji mereka.
10. Pembayaran atas waktu-waktu tidak
bekerja : yang termasuk didalamnya adalah saat liburan, cuti, dan
waktu melapor. Karyawan level atas di perusahaan-perusahaan raksasa banyak yang
mendapat kebebasan untuk berlibur kapan saja.
11. Layanan karyawan :
beberapa contohnya adalah bantuan konseling, layanan makan, mobil perusahaan,
fasilitas olah raga, rencana pembelian saham, transportasi, bantuan adopsi,
seragam, bantuan hukum, penjagaan anak, bonus natal, fasilitas kredit, jam
kerja fleksibel, dan lain sebagainya.
Mengenai
program benefit ini sekali lagi sangat tergantung dari keuangan perusahaan
namun jika ada kemampuan perusahaan tidak ada salahnya seluruh program benefit
diatas bisa kita laksanakan.
Written on 19.14 by Ed's-HRM
Beberapa rekan dalam milis sering
bertanya tentang satu alat ( tool ) yang digunakan oleh perusahaan untuk
mengukur kinerjanya, yaitu apa yang disebut dengan Balance Scorecard, tool ini ramai dibicarakan pada awal tahun dua
ribuan dan saat ini juga banyak perusahaan yang menggunakan tool ini, hanya
saja berdasarkan pengalaman penulis, penggunaan tool ini tidak semudah
dibayangkan, pada dasarnya banyak kendala yang muncul pada saat merealisasikan
program yang menggunakan tool ini. Namun tidak ada salahnya bagi mereka yang
ingin mengetahui mengenai alat (tool) ini, akan dijelaskan secara garis besar
mengenai apa dan bagaimana Balance Scorecard digunakan.
Prinsip dari Balance Scorecard
adalah bagaimana mengukur kinerja perusahaan dengan mengaitkan atau membentuk
satu kesatuan pengukuran yang melibatkan seluruh komponen perusahaan dalam
artian apabila satu unit kerja mengalami kendala maka tentu akan mempengaruhi
kinerja unit kerja lainnya sehingga akan berdampak kepada kinerja perusahaan
secara keseluruhan, demikian juga sebaliknya bahwa keberhasilan satu unit kerja
itu disebabkan oleh adanya kontribusi dari unit kerja lainnya. Agar pengukuran
ini tidak rumit dalam menentukan target-targetnya maka sang pembuat tool ini
yaitu : Robert S Kaplan dan David P Norton merumuskan dalam bentuk 4 (empat) Perspektif
(perspective), dan keempat perspektif itu adalah :
1.
Perspektif
Keuangan ( Financial Perspektif ), yaitu mengukur kemampulabaan dan nilai
pasar (market value) diantara
perusahaan-perusahaan lain, sebgai indikator seberapa baik perusahaan memuaskan
pemilik dan pemegang saham. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi
pertanyaan adalah bagaimana peningkatan kinerja keuangan atau apa sasaran
keuangan kedepan.
2.
Perspektif
Pelanggan ( Customer Perspektif ), yaitu mengukur mutu, pelayanan, dan
rendahnya biaya dibandingkan dengan perusahaan lainnya, sebagai indikator
seberapa baik perusahaan memuaskan pelanggannya. Dalam kaitan perspektif ini
yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana tanggapan pelanggan (customer)
kita atas pemberian nilai (value)
yang lebih.
3.
Perspektif
proses bisnis internal (Internal business process perspektif), yaitu
mengukur efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memproduksi barang dan
jasa. Dalam kaitan perspektif ini yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah
kita telah meningkatkan proses bisnis sehingga mampu memberikan nilai lebih
kepada pelanggan.
4.
Perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan (Learning and Growth perspektif), yaitu
mengukur kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya
manusia sehingga tujuan strategik perusahaan dapat tercapai untuk waktu
sekarang dan masa yang akan datang. Dalam kaitan perspektif ini yang sering
menjadi pertanyaan adalah apakah kita memelihara kemampuan seluruh personil
untuk mengubah dan meningkatkan sesuatu hal.
Untuk merealisasikan dan
menggunakan keempat perspektif ini maka setiap perusahaan harus mempunyai visi,
jika belum ada maka harus dibangun dulu mengenai visinya kemudian diuraikan dan
diaktualisasikan kedalam keempat perspektif tersebut, tetapi jika uraian visi
yang dibuat memerlukan perspektif lain maka tentunya diperlukan penambahan
perspektif baru maka dapat saja ditambah menjadi 5 (lima) perspektif dan itu
bisa dibuat sendiri agar nantinya dapat menunjang keberhasilan dalam mencapai
visi yang sudah ditetapkan. Setelah uraian visi dibangun kedalam setiap
perspektif maka selanjutnya dibuatlah strategi (strategic aims/strategic
objective) untuk setiap pencapaian yang dicanangkan pada masing-masing
perspektif. Untuk dapat mencapai sasaran sesuai strategi yang dibangun maka
kita harus membuat faktor-faktor kritikal yang menunjang keberhasilan
pencapaian sasaran sesuai strategi atau apa yang disebut Critical Success Factors
(CSFs), kemudian faktor-faktor tersebut
diturunkan menjadi ukuran-ukuran keberhasilan dan selanjutnya berdasarkan
ukuran-ukuran keberhasilan ini maka dibangunlah rencana kerja (Action
Plan). Setelah terbangun semuanya maka kepada seluruh unit kerja yang
ada di perusahaan mengambil peran masing-masing untuk memenuhi ukuran yang
ditetapkan diatas, caranya adalah setiap unit kerja membuat ukuran-ukuran
target unit kerja dan hal ini yang disebut dengan Key Performance Indicator ( KPI).
Selanjutnya dari KPI inilah maka dapat diukur kinerja individu (Perfomance
Appresial) dengan demikian model pengukuran ini dapat berjenjang
dimulai dengan penyusunan target top-down kemudian penilaiannya berdasarkan
bottom-up.
Dari uraian diatas menunjukkan
bahwa Balance Scorecard juga
merupakan jalur komunikasi dua arah top-down, sehingga setiap karyawan dapat
mengetahui mengenai visi-misi perusahaan berserta terjemahannya dari misi dan
strategi perusahaan maupun unit kerja dan ini juga sekaligus bahwa setiap
tujuan dan target perusahaan terkomunikasikan dengan baik sampai dengan lapis
bawah. Disisi lain keempat perspektif dari Balance scorecard memungkinkan terjadinya keseimbangan yang
meliputi :
1.
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang
2.
Tolok ukur eksternal para stackeholder dikaitkan
dengan tolok ukur internal dari proses bisnis internal,inovasi serta
pembelajaran dan pertumbuhan
3.
Hasil yang diinginkan dan pemicu kinerja ( performance drivers) dari hasil (outcomers) tersebut
4.
Setiap tolok ukur dengan subjeknya
Banyak pendapat yang mengatakan
bahwa pengukuran merupakan alat untuk mengendalikan perilaku dan untuk menilai
kinerja masa lalu. Namun tolok ukur dalam Balance scorecard harus digunakan
dengan cara yang lain. Tolok ukur Balance scorecard harus digunakan untuk
menerjemahkan strategi usaha, untuk mengkomunikasikan strategi usaha kepada
karyawan, dan membantu menyelaraskan rencana tindakan individu, organisasional,
dan antar unit kerja untuk mencapai tujuan bersama. Dengan penggunaan seperti
ini scorecard bukan berusaha untuk mempertahankan individual dan unit kerja
sesuai dengan rencana yang ditetapkan terlebih dahulu, melainkan Balance
scorecard harus digunakan sebagai bagian dari sistem manajemen yang lebih besar
untuk komunikasi, berbagi informasi dan pembelajaran. Keberagaman tolok ukur
dalam Balance scorecard tampaknya membingungkan akan tetapi scorecard yang
dibangun dengan tepat seperti yang kita lihat, terdiri dari kesatuan tujuan
(Unity of Purpose); semua tolok ukur diarahkan untuk mencapai strategi yang
terintegrasi.
Bagaimana peran kita sebagai
pengelola SDM Perusahaan, tentunya tidak jauh berbeda dengan para pengelola
lainnya dalam perusahaan yaitu turut membangun scorecard berdasarkan unit
kerjanya dan individual, tetapi bahwa ada hal yang dominan yang harus dilakukan
yaitu. membangun tolok ukur dalam perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
secara keseluruhan dalam perusahaan. Peran para pengelola SDM perusahaan
menjadi strategis karena salah satu dari keempat prespektif itu merupakan
domainnya, sehingga keberhasilan dari kinerja perusahaan yang diukur
menggunakan Balance scorecard adalah salah satunya bagaimana mengukur pengelolaan
karyawan, melalui pembelajaran dan pertumbuhan.
Untuk mendorong pembelajaran dan
pertumbuhan maka dibutuhkan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kapabilitas pekerja (employee capability)
2. Kapabilitas sistim Informasi (information systems capabilities)
3. Motivasi,pemberdayaan, dan keselarasan (Motivation,empowerment, and alignment)
Ketiga pendorong tersebut
merupakan syarat mutlak yang harus ada ketika akan dilakukan program
scorcard terutama yang berkaitan dengan
pengelolaan SDM, artinya orang yang bekerja harus mempunyai kapasitas dalam melakukan
pekerjaannya dan ini bisa diukur melalui pengukuran kinerja (performance
appraisal), hasil pengukuran harus terdata baik dalam sebuah sistim informasi
terpadu serta adanya sistim penglolaan SDM yang komprehensif yang mampu
mendorong setiap individu terus memacu kinerjanya untuk mencapai target dirinya
maupun perusahaan. Dibawah ini sebuah contoh sederhana mengenai balance scorcard
yang mengacu kepada pengelolaan SDM ;
Setelah suatu strategi diuraikan
menjadi alat pengukuran dan kemudian diaplikasikan kedalam keempat perspektif
untuk perspektif keuangan mempunyai tolok ukurnya ROCE ( Return on Capital Employed ), dorongan terhadap ROCE ini dapat
berupa penjualan yang berulang dan penjualan yang diperluas dari pelanggan yang
ada sekarang artinya ada bentuk loyalitas pelanggan dan loyalitas inilah yang
kemudian menjadi tolok ukur dari perspektif pelanggan, karena loyalitas
pelanggan diharapkan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ROCE, akan tetapi
bagaimana organisasi mencapai loyalitas pelanggan ? Analisis preferensi
pelanggan dapat mengungkapkan bahwa pengiriman yang tepat waktu atas pesanan
sangat dihargai pelanggan. Dengan demikian, memperbaiki waktu pengiriman yang
tepat waktu diharapkan mengakibatkan loyalitas pelanggan bertambah, yang pada
gilirannya, diharapkan mengarah pada kinerja keuangan yang lebih tinggi. Maka
baik loyalitas pelanggan ataupun pengiriman yang tepat waktu digabungkan dalam
perspektif pelanggan dari scorecard.
Proses berlanjut dengan
menanyakan proses internal apa yang harus menjadi keunggulan perusahaan dalam
mencapai waktu pengiriman tepat waktu yang lebih baik, perusahaan perlu
mencapai waktu siklus yang pendek dalam proses operasi dan proses internal yang
bermutu tinggi, kedua faktor tersebut dapat berlaku sebagai tolok ukur
scorecard dalam perspektif proses usaha internal. Dan bagaimana organisasi
memperbaiki mutu dan mengurangi waktu siklus dari proses internal mereka
tentunya dengan melatih dan memperbaiki keterampilan karyawan unit operasi,
suatu sasaran dapat merupakan kandidat untuk perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan.
Written on 17.48 by Ed's-HRM
Ketika melihat perkembangan proses
seleksi yang dilakukan oleh panitia pelaksana (pansel) dalam menyeleksi calon
ketua KPK, ada rasa optimis dan juga pesimis yang dilontarkan oleh berbagai
lapisan masyarakat mulai dari LSM sampai dengan para pejabat Negara dan semua
memberikan tanggapan yang beragam, ini menunjukkan betapa seleksi calon ketua
KPK ini merupakan langkah awal yang sangat penting karena proses seleksilah
yang akan menentukan apakah akan membuahkan keberhasilan sebagaimana yang
diharapkan masyarakat ataukah akan menuai kegagalan sehingga akan membuat
rakyat kecewa, karena itu harapan besar dari lembaga KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi di Negeri ini akan menentukan nasib bangsa kedepan. Memang
mencari orang yang terbaik dengan kredibelitas dan integritas yang tinggi merupakan
syarat utama selain tentunya juga aksepbilitas ditengah masyarakat Indonesia
dan Dunia.
Metode yang digunakan oleh
Pansel saat ini adalah dengan membuka lowongan secara terbuka kepada seluruh anak
bangsa yang berminat menjadi ketua KPK, dengan persyaratan tertentu dan bagi
mereka yang memenuhinya, dipersilahkan mengajukan lamaran kepada pansel, metoda
rekruting seperti ini mirip yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
ingin merekrut tenaga kerja baru yang berkualitas dan biasanya yang melamar ke
perusahaan adalah mereka yang membutuhkan pekerjaan dan memenuhi syarat yang
diajukan oleh perusahaan, namun ada juga mereka yang melamar adalah mereka yang
telah bekerja di tempat lain kemudian melamar dengan harapan adanya perubahan
penghasilan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya mereka yang menyukai
tantangan baru agar mereka mempunyai pengalaman baru lagi dengan bekerja di
perusahaan lain lagi. Dengan metode yang sama seperti itu, apakah orang-orang
yang melamar juga mempunyai motivasi yang sama dengan mereka melamar ke
Perusahaan bahkan mungkin saja ada orang yang melamar karena untuk menampung
kepentingan politik nantinya. Segala kemungkinan bisa terjadi dan inilah yang
akan menampikkan bahwa seleksi seperti ini bisa menuai yang baik maupun buruk,
karena orientasi yang nantinya terpilih tentu belum akan terlihat saat seleksi
maupun saat diawal mereka bekerja. Pola rekrutmen seperti ini bisa diibaratkan
sebagai rumah makan padang, dimana ketika kita akan makan di rumah makan ini,
kita akan disodori aneka jenis makanan, tinggal kita yang memilih mau apa
akhirnya semua tergantung selera atau kesukaan kita, demikian juga ketika
memilih calon tenaga baru maka yang tersedia adalah mereka yang telah lolos
secara administrasi dan tinggal kita memilih berdasarkan kriteria yang sudah
dibuat.
Mencari orang yang terbaik
memang ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, namun itu bukanlah sesuatu
yang harus membuat kita pesimis untuk itu kita harus percaya bahwa orang itu
sebenarnya ada di bumi pertiwi kita dan akan datang pada waktu yang tepat atau
jika perlu kita harus mampu menjemputnya, karena sebenarnya banyak anak bangsa
yang memenuhi syarat untuk menjadi ketua KPK akan tetapi mereka-mereka ini
belum tertarik atau ada yang masih melihat situasi serta adanya prinsip
individu menyikapi kondisi dan situasi bangsa ini, namun semuanya bukan rasa
pesimisme mereka. Jika nantinya metoda seleksi yang sekarang tidak mendapatkan
orang yang diharapkan maka menggunakan metoda lain tentu bukan barang haram
salah satunya adalah metoda jemput. Metoda jemput ini sebaiknya juga dilakukan
oleh pansel agar mereka yang berada diluar kepentingan apapun bisa menjadi
calon ketua KPK, banyak cara untuk mendapatkan orang seperti ini karena banyak
masukan dari masyarakat dan LSM serta adanya personal yang mempunyai performa
menonjol ditengah masyarakat tentu harus menjadi perhatian.
Metoda jemput ini memang
sangat jarang digunakan oleh institusi ataupun lembaga dalam proses untuk
menempatkan orang dengan kualifikasi tertentu pada sebuah jabatan, hampir semua
instusi untuk penempatan orang (placement) pada jabatan tertentu lebih mengandalkan
dari proses lamaran, mungkin saja pola referensi dari teman maupun adanya jaringan
(network), bisa juga dikatakan sebagai metoda jemput, namun biasanya dengan
sistim referensi maupun jaringan lebih lebih mengedepankan pada faktor
kedekatan atau pertemanan sehingga pola ini memang bisa mendapatkan orang yang
baik dinilai dari satu kelompok saja, selain itu metoda jemput ini ada juga yang mengandalkan kepada tenaga
konsultan (headhunter) dengan pengertian bahwa yang melakukan penjemputan tentu
sang konsultan, namun ini juga tidak menjamin karena terkadang adanya
kongkalikong antara konsultan itu dengan tenaga yang dipilih. Untuk perusahaan tertentu
memang metoda ini sering digunakan tetapi sering juga terjadi dan timbul stigma bahwa satu perusahaan telah
membajak karyawan pada perusahaan lain yang menjadi kompetitornya, dan tentu
saja tidak semua perusahaan mampu melakukan ini, selain karena akan membutuhkan
waktu yang lama serta data yang dibutuhkan juga harus akurat, sisi lain yang
penting adalah bahwa metode ini juga akan menimbulkan biaya tinggi, namun hal
ini bisa diabaikan jika nantinya tenaga yang didapat merupakan tenaga yang
handal dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan. Biasanya
perusahaan juga berusaha agar ketika tenaga tersebut ada di perusahaan, maka
harus terjadi transfer knowledge, agar dikemudian hari ada karyawan perusahaan
yang mampu mengerjakan atau mengganti tenaga profesional dimaksud, semakin
cepat terjadi transfer knowledge maka semakin hemat biaya perusahaan dan ROI
semakin cepat tercapai.
Contoh yang paling konkrit
dari sistim jemput ini adalah bagaimana klub-klub sepak bola di benua eropa
yang setiap musim selalu berburu pemain terbaik dengan memberikan harga yang
tinggi kepada pemain yang dibutuhkan klub, para pengelola klub terus mencari
dan mencari pemain yang mampu meningkatkan performa klub di masing-masing
kompetisi negaranya, jika memang nantinya ada klub yang berminat maka si
pemilik dapat memberikan pemain dimaksud kepada klub lain dengan nilai ekonomi
yang lebih tinggi lagi memang ini merupakan sebuah industri sepakbola, walaupun
tidak dapat kita bandingkan dengan rekrutmen dalam dunia usaha di negeri ini,
namun paling ada sebuah gambaran tentang bagaimana kita tidak menunggu tapi
berburu.
Bagi perusahaan yang tidak
dapat menggunakan metoda jemput ini
biasanya melakukan rekrutmen berdasarkan metoda konvensional yaitu dengan
membuka lowongan kerja di media massa, dengan harapan ada orang-orang yang
terbaik yang melamar sementara disisi lain banyak individual menaruh harapan
besar kepada perusahaan agar dapat menerima lamarannya, jadi ada saling
mengharapkan baik perusahaan maupun individu/personal. Saling mengharapkan
tentu saja akan berdampak kepada adanya ketimpangan yang didasarkan atas
kepentingan masing-masing pihak sehingga diperlukan proses negosiasi untuk menyeimbangkan
kepentingan masing-masing agar proses rekrutmen dapat menghasilkan hal yang
positip bagi kedua pihak, secara garis besarnya adalah bahwa yang dibutuhkan
dapat terisi atau paling tidak ada persyaratan minimum yang dapat dicapai oleh
para pelamar sehingga bisa diterima perusahaan.
Metoda jemput memang juga akan
menimbulkan ketimpangan karena dengan metoda ini posisi tawar (bargaining
position) individu/personal tentu akan berada diatas angin sehingga
institusi/lembaga ataupun perusahaan harus segera menghitung secara cermat
nilai ekonomisnya yang biasanya disebut sebagai Return of Investment (ROI)
karena tenaga yang mempunyai kualifikasi diatas rata-rata merupakan investasi
bagi perusahaan. Bagi kita para pengelola SDM perusahaan, metoda apapun yang
digunakan sepanjang effesien dan effektif serta akan mendapatkan tenaga yang
terbaik merupakan sebuah keberhasilan proses rekrutmen namun penilaian
selanjutnya adalah pada perjalanan ketika mengelola perusahaan itu sendiri,
akan berhasilkah kita ?
Written on 18.30 by Ed's-HRM
Jika mendengar pernyataan atau
kalimat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), para karyawan perusahaan akan
menunjukkan kegelisahannya, mereka rata-rata akan merasa ketakutan dalam
menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang karena mereka sadar bahwa dengan
kemampuan yang dimiliki saat itu, mereka tidak dapat berbuat lebih jauh lagi
terutama dalam persaingan didunia kerja. Para karyawan menyadari bahwa yang
paling terdahulu dalam mendapat PHK adalah mereka yang dianggap tidak mempunyai
kinerja, berkinerja rendah, atau yang mudah tergantikan dalam mengerjakan suatu
pekerjaan, posisi-posisi seperti itu memang banyak terdapat pada
industri-industri padat karya. Dimensi ini akan terus bergulir sampai kapanpun
juga sepanjang belum ada kebijakan-kebijakan antisipasi kearah itu karena itu
harus terus digalang baik oleh pemerintah maupun pengusaha dengan pola
sebaiknya jangan pernah memberikan ikan tetapi kail kepada mereka yang terkena
PHK. Satu contoh yang bisa diterapkan oleh perusahaan adalah untuk mengantisipasi
akan terjadi PHK dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada seluruh
karyawan dengan kategori diatas. Yaitu tentang pengetahuan dan keterampilan
diluar pekerjaan utamanya, kemudian kepada mereka yang dinyatakan mampu untuk
bekerja diluar pekerjaan utamanya maka kepada mereka diberikan bantuan
peralatan dan modal kerja dan diangkat sebagai pelaku industri binaan
perusahaan.
Dimensi lain dari PHK adalah
adanya orang yang memang sangat amat berminat untuk mengikuti program PHK,
alasan yang dikemukakan bahwa mereka telah siap dengan segala resiko yang akan
dihadapi kedepan dan jika mereka di PHK maka mereka telah mempunyai
rencana-rencana untuk menopang hidup mereka dengan melakukan usaha-usaha sesuai
dengan keterampilan yang mereka miliki dan ini yang mereka yakin akan membawa
perubahan kedepan, namun sebaliknya bagi perusahaan yang tidak siap
ditinggalkan oleh mereka-mereka, akan menghadapi kesulitan mencari ataupun
merekrut tenaga baru yang mempunyai kualifikasi sama dengan yang telah keluar.
Dimensi ini memang membuat perusahaan mengalami dilema dalam mengambil
keputusan karena pasti akan terjadi pada perusahaan apapun ketika perusahaan
membuat program PHK, akan banyak karyawan yang terbaik mengikuti program ini
sementara mereka yang kurang baik cenderung akan tetap mempertahankan diri agar
tetap di perusahaan. Karena dilema inilah terkadang ada perusahaan yang memaksa
kepada sejumlah karyawan tertentu untuk mengikuti program PHK padahal mereka
itu tidak siap dan dampaknya terjadi perselisihan hubungan industrial karena
masing-masing mempertahankan pendapatnya atau juga masing-masing memaksakan
kehendaknya. Maka solusi yang terbaik adalah dengan menetapkan kriteria dalam
program PHK, sebagai contoh usia yang telah mendekati usia pensiun kemudian
suami istri kerja (SIK), alasan kesehatan, dll, biasanya pembuatan kriteria ini
bisa diterima walaupun mungkin tidak oleh seluruhnya, tetapi paling tidak ada
proses yang dapat dijalankan terlebih dahulu.
Ketika program PHK selesai
dilaksanakan, suasana didalam perusahaan pasti ada perubahan, secara teknis
maupun non teknis, yaitu dalam kondisi produksi normal maka pasti terjadi
peningkatan volume pekerjaan pada setiap karyawan, peningkatan volume tersebut
akan berdampak positip kepada karyawan yakni mereka tidak akan berpikir
mengenai program PHK namun apabila ternyata terjadi pengurangan produksi
sehingga berdampak kepada volume pekerjaan karyawan maka dapat dipastikan para
karyawan akan terkena sindrom PHK, mereka akan terus dihantui ketakutan jika
ada progran PHK berikutnya maka mereka yang akan terkena. Jika kondisi ini
dibiarkan tentu saja akan mengakibatkan ada rasa ketidakpercayaan karyawan
kepada manajemen puncak perusahaan bahwa mereka tidak mampu mengelola
perusahaan sehingga terjadi program PHK, ini artinya kredibilitas manajer
puncak sangat diragukan, akibatnya para karyawan akan mengambil sikap acuh tak
acuh terhadap apa yang dihadapi perusahaan dan ini membuat rasa kebersamaan
maupun rasa memiliki perusahaan semakin hancur dan perusahaan tidak lagi
kompetitif, dalam arti hanya tinggal menunggu waktu saja. Ini adalah dimensi
lain dari program PHK.
Sebagai tambahan referensi untuk hal diatas, sebagaimana menurut James
Kouzes dan Barry Posner (1993), dua pakar kepemimpinan ternama dari AS, sikap acuh
tak acuh tersebut merupakan indikasi kuat bahwa manajemen selaku pimpinan
perusahaan mulai kehilangan kredibilitas mereka. Pemimpin tanpa kredibilitas
tak akan memperoleh dukungan dari bawah sementara para bawahan pun bak 'anak
ayam kehilangan induknya'. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit dibayangkan
bagaimana perusahaan dapat survive dari badai yang melanda dunia usaha saat
itu. Alhasil, PHK yang tadinya dimaksudkan untuk memperbaiki tingkat efisiensi
perusahaan malah menyebabkan turunnya tingkat produktivitas kerja sebagai
akibat merosotnya konsentrasi, ketenangan dan moralitas kerja para karyawan
yang tidak terkena PHK. Dengan kata lain, program PHK secara lingkungan sosial politik akan berpotensi
menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat dan merugikan secara finansial mereka yang terkena PHK
tetapi juga berdampak negatif pada sisi kognitif dan psikologis mereka yang
tidak terkena PHK dan masih tetap tinggal didalam perusahaan.
Melakukan program PHK bagi perusahaan adalah tindakan terakhir atau keputusan
yang paling terakhir diambil karena sudah tidak ada lagi jalan bagi manajemen
untuk memperbaiki kinerja perusahaan dan juga perlu diperhatikan mengenai
multidimensi program PHK sebagai pemikiran sebelum finalisasi program PHK....