Pemula bidang SDM

0

Written on 17.40 by Ed's-HRM

Untuk Pemula bidang SDM

Sebenarnya banyak para pemula dibidang pengelolaan SDM perusahaan yang bertanya tentang apa dan bagaimana cara yang terbaik dalam mengelola SDM perusahaan karena mereka banyak yang baru ditempatkan pada bidang ini, diantaranya banyak pertanyaan seperti ini yang sering penulis temukan dalam beberapa komunitas (millis) yang membahas tentang pengelolaan SDM perusahaan, ada yang bisa dijawab ada juga yang tidak, dan dalam proses waktu banyak juga jawaban yang diberikan oleh mereka yang telah mempunyai pengalaman pada bidang itu. Namun dalam segala keterbatasan media yang digunakan, jawaban-jawaban yang disajikan bisa saja sangat jauh dari harapan mereka akan tetapi bisa saja jawaban-jawaban itu merupakan sesuatu yang berharga bagi mereka atau paling tidak mereka bisa berwacana dengan menampung banyak pertanyaan demikian juga dengan jawaban-jawabannya.

Para pemula dibidang ini tentu juga menyadari akan keterbatasan mereka dalam pengetahuan tentang pengelolaan SDM perusahaan sehingga banyak juga yang akhirnya mengalami kesulitan untuk mencerna setiap jawaban yang diberikan rekan-rekannya dalam komunitas itu. Memang banyak lembaga pelatihan yang menyediakan program pelatihan tentang pengelolaan SDM perusahaan, tetapi biasanya program pelatihan itu diberikan atau disiapkan bagi mereka yang telah benar-benar mempunyai pengetahuan atau pengalaman di bidang ini, jadi pelatihan itu hanya bersifat penambahan atau juga untuk merefresh pengetahuannya. Dengan demikian harus kita sadari bahwa belajar bidang ini tidak bisa secara instant ataupun dalam waktu yang singkat, pembelajaran pada bidang ini merupakan proses sejalan dengan aktivitas sehari-hari artinya kita akan mendapatkan pengetahuan itu dalam menjalankan kegiatan langsung berhubungan dengan karyawan.

Tidak ada manusia yang sempurna dan tak ada gading yang tak retak demikian juga dengan para pakar bidang SDM terutama yang meluangkan waktunya memberikan pengetahuan melalui millis, mempunyai keterbatasan-keterbatasan sehingga belum tentu mereka dapat memberikan solusi untuk semua masalah mengenai pengelolaan SDM pada setiap perusahaan karena setiap perusahaan mempunyai karakteristik tersendiri terutama dari sisi produksi dan daya dukung SDM yang dibutuhkan untuk menunjang produksi. Dengan demikian semua kembali kepada kita sebagai pengelola pemula dalam bidang SDM, jika ingin berhasil dalam mengelola SDM perusahaan maka harus melakukan langkah awal dengan baik karena ketika kita melakukan langkah yang salah maka akibatnya akan menyebabkan adanya ketidak percayaan karyawan kepada kita

Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana langkah awal itu bisa diwujudkan agar mempunyai nilai maksimal, apalagi dengan kemampuan para pemula yang masih serba terbatas. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai langkah-langkah itu dan boleh dikatakan langkah-langkah ini didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat umum sehingga akan dapat dilakukan oleh siapa saja terutama bagi mereka yang mempunyai basic pendidikan yang mendukung.

Jika kita baru ditempatkan pada bidang ini maka sebaiknya lakukan saja langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan awal seperti dibawah ini :

1. Monitoring seluruh kegiatan atau proses operasional perusahaan mulai proses awal produksi sampai dengan penjualan dan juga hal-hal yang bersifat umum akan tetapi intinya hal-hal yang menyangkut kepersonaliaan atau kepegawaian terutama yang berkaitan dengan peraturan perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

2. Melakukan pengolahan data karyawan, langkah ini dimaksudkan untuk memperoleh data karyawan yang terkini ( up date). Perhatikan apakah semua karyawan sudah terdata secara lengkap atau belum. Format data silahkan dibuat sendiri, yang penting data mudah dibaca dalam setiap kondisi.

3. Pembuatan Job Description, langkah ini dilakukan apabila memang kita belum menemukan adanya job desc didalam perusahaan, untuk pembuatan ini kita bisa mempelajarinya melalui jaringan internet atau mengikuti pelatihannya tentu jika memungkinkan. Apabila sudah job desc tersedia maka bisa dilakukan penambahan-penambahan untuk melengkapinya.

4. Jika belum ada maka buat struktur organisasi perusahaan berdasarkan nama jabatan yang telah disusun sebagaimana pada point 2, untuk memudahkan penyusunan atau pembuatan struktur organisasi adalah dengan menyusun berdasarkan rumpun jabatan sebagai contoh dengan memilah-milah berdasarkan jabatan umum, teknis dan spesialis untuk dijadikan jabatan fungsional serta jabatan-jabatan struktural. Setelah selesai maka dengan mudah kita susun secara berjenjang pada setiap rumpunnya.

5. Pembuatan Standard Operating Procedure (SOP) untuk setiap kegiatan terutama SOP terutama yang berkaitan dengan kegiatan yang pada proses pelaksanaannya merupakan kegiatan lintas bagian. Pembuatan SOP ini sangat penting karena merupakan arah atau acuan agar terbangun sistem kerja yang baik.

Kelima langkah atau kegiatan diatas dapat dijadikan proses belajar bagi para pemula karena langkah-langkah diatas merupakan kegiatan yang bersifat umum dan tidak mempunyai dampak apapun terhadap proses kegiatan perusahaan terutama adanya resistensi dari para karyawan perusahaan. Kelima langkah tersebut memang akan banyak bersifat administratif tetapi bukan berarti bahwa entry point ke bagian HRD hanya berkutat pada kegiatan administratif saja sebagaimana yang dikeluhkan oleh beberapa tenaga baru HRD. Langkah –langkah diatas dapat dijadikan program awal dari HRD atau merupakan program jangka pendek dari HRD dan apabila kita sudah berhasil melaksanakan langkah-langkah tersebut maka program berikutnya sudah bisa direncanakan secara terstruktur.

Bagi para pemula langkah-langkah diatas akan memberikan nuansa awal kita masuk kedalam dunia SDM dan memang langkah itulah yang selalu saya lakukan ketika masuk ke sebuah perusahaan baru, langkah-langkah itu juga merupakan metode pendekatan kita kepada karyawan dalam arti kita akan mengenal karyawan lebih dekat lagi, karena dalam prosesnya kita memerlukan informasi-informasi dari mereka agar apa yang kita inginkan dapat terwujud.

Ada beberapa program besar yang pada intinya saling berkaitan satu dengan lainnya dan pada akhirnya akan merupakan sistim yang berkelanjutan adapun program itu dan harus dikerjakan lagi untuk mendukung perusahaan dari SDM yakni :

1. Sistim Remunerasi

2. Program pengembangan karyawan

3. Sistim karier

Pada tulisan ini memang saya tidak membuat detail secara keseluruhan namun pembahasan-pembahasannya bisa dilihat dari tulisan-tulisan pada blog ini, mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan gambaran kepada pemula sehingga membantu dalam menyusun program SDM di perusahaan anda semua.

Pengembangan Pegawai

0

Written on 22.21 by Ed's-HRM

Keuntungan Mengembangkan Pegawai

Ketika diberi kepercayaan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja pada sebuah perusahaan besar, ada beberapa hal yang menjadi konsentrasi saya pada saat itu diantaranya adalah bahwa di perusahaan tersebut ternyata sistem kerja (SOP) yang ada belum berjalan sebagaimana mestinya, seperti kita ketahui bahwa apabila SOP belum berjalan maka tentu akan menyulitkan kita dalam melakukan perencanaan tenaga kerja. Dalam prakteknya perencanaan tenaga kerja harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi kuantitas dan sisi kualitas, sisi kuantitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan itu terlihat “gemuk” atau “kurus” dan dari sisi kualitas akan memperlihatkan kepada kita, apakah perusahaan ini “padat karya” atau “padat teknologi” atau bisa saja nantinya akan memperlihatkan kedua-duanya sehingga menyiratkan bahwa perusahaan berada ditengah-tengah dari sisi kuantitas dan kualitas.

Ketika seluruh SOP sudah bisa dijalankan dengan baik maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pengukuran-pengukuran tenaga kerja menggunakan tool-tool tertentu, pengukuran ini diharapkan akan menghasilkan data-data yang nantinya akan diolah menjadi sebuah sebuah kesimpulan sebagaimana statement diatas yang kemudian dijadikan sebuah acuan untuk melakukan perubahan-perubahan demi kepentingan perusahaan.

Sebagai contoh ketika perusahaan akan melakukan perubahan dari “padat karya” menjadi setengah “padat teknologi” maka pada saat itu yang harus dilakukan adalah menghitung jumlah tenaga dengan kualitas yang dibutuhkan pada program ini.

Persoalan yang muncul adalah ketika kita harus mengurangi tenaga yang ada karena tentu kita tidak dapat langsung memberhentikan karyawan melalui program PHK, tetapi juga harus melalui penilaian-penilaian yang fair untuk menentukan siapa-siapa yang masih bisa bergabung dengan perusahaan dan mereka siap untuk dikembangkan oleh perusahaan. Namun persoalan lain akan muncul karena sebenarnya walaupun perusahaan telah memberikan pesangon yang lebih dari cukup, belum tentu karyawan yang di PHK mampu survive diluar perusahaan, dari pengalaman yang pernah terjadi adalah karyawan yang tidak survive ternyata kembali datang untuk meminta “belas kasihan” perusahaan. Dengan berbagai cara mereka akan meminta kepada perusahaan agar diberi “sesuatu” agar mereka tidak menggangur lagi, hal ini sering terjadi dan dilakukan oleh mereka yang berdomisili di sekitar perusahaan.

Berdasarkan pengalaman itulah, perusahaan mengantisipasinya dengan terus mengembangkan karyawan secara kontinu, agar setiap karyawan mempunyai kemampuan yang akan berguna baik untuk perusahaan maupun untuk dirinya sendiri apabila mereka resign dari perusahaan. Memang cara ini secara selintas akan membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya cukup tinggi tetapi dibalik itu ada nilai ekonomis yang akan didapatkan, sebagai contoh adalah apabila mereka yang sudah “jadi” ingin bekerja diluar perusahaan, tentunya tidak akan ada lagi biaya pesangon yang harus disiapkan oleh perusahaan.

Dibawah ini ada sebuah tulisan lain, yang menggambarkan sebuah perusahaan yang dalam pengelolaannya menitikberatkan pada sebuah proses pengembangan karyawan, dengan demikian kita para pengelola SDM perusahaan harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai upaya untuk mendukung startegi bersaing dari perusahaan. Sumber Daya Manusia yang ada diperusahaan harus diberi peluang yang besar untuk mengembangkan dirinya yang notabene harus difasilitasi oleh perusahaan dalam hal ini oleh para pengelola SDM perusahaan

Gold-Collar Worker

Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “blue-collar worker” dan “white collar worker” dalam dunia tenaga kerja. Selama ini memang perusahaan sering mengelompokkan tenaga kerja kedalam dua klasifikasi klasik ini. Pengelompokan berdasarkan warna kerah ini tampaknya juga didasari oleh jenis pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh masing-masing kelompok.

Pekerja blue collar pertama kali muncul pada permulaan era industri di mana orang-orang mulai beralih “pekerjaan” dari tanah pertanian ke pabrik-pabrik,sehingga kelompok ini sering diasosiasikan sebagai kelompok pekerja yang mengandalkan keterampilan fisik dalam bekerja. Sebaliknya pekerja white collar sering digambarkan sebagai pekerja yang lebih mengandalkan pengetahuan dan keterampilan mental dalam bekerja. White collar Worker ini kadang-kadang juga dianggap menduduki kelas yang lebih tinggi dalam tangga ketenagakerjaan. Sejauh ini pembagian klasik tersebut tampaknya berjalan begitu saja dan sepertinya dapat diterima oleh orang-orang yang menjalankannya.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah pembagian ini masih relevan di era teknologi dewasa ini? Meski belum ada penelitian khusus di Indonesia namun Information Technology Assossiation of Amarica mengungkapkan bahwa lebih dari 800.000 bidang kerja teknologi tidak akan terisi pada tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja handal yang dapat mengisi posisi-posisi tersebut. Tentunya ini bukan merupakan hal positif bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih luas bisa dikatakan menjadi ancaman bagi perekonomian Nasional. Beberapa ahli kemudian mencoba menjawab fenomena kurangnya tenaga kerja handal ini dan penyebab yang dirasa memberikan pengaruh paling besar adalah klasifikasi klasik yang membedakan pekerja menjadi white collar worker dan blue-collar worker. Pemisahan ini membuat pekerja white collar hanya meningkatkan pengetahuannya secara mental dan “sedikit melupakan” cara-cara praktis untuk mengerjakan sesuatu sementara pekerja blue-collar sering tidak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilannya dalam hal-hal perencanaan,pengambilan keputusan dan keterampilan-keterampilan mental lainnya. Sementara, seiring dengan perkembangan teknologi serta untuk menjawab tantangan pasar yang makin bebas perusahaan membutuhkan satu kelompok baru dalam dunia kerja yang disebut sebagai gold collar worker.

Dinamakan “gold” karena pekerja yang memiliki keahlian multidisiplin dan dapat menggabungkan “pemikiran” dari pekerja white collar dengan “tangan” blue collar ini memang akan memberikan “emas” bagi perusahaan dan dalam skala yang lebih tinggi bagi perekonomian bangsa disamping bagi diri mereka sendiri. Mungkin ada diantara kita yang merasa bahwa selama ini telah tergolong pekerja gold collar. Mungkin saja karena memang di lini-lini bisnis tertentu tuntutan untuk menjadi pekerja gold collar ini telah lama ada. Beberapa posisi seperti teknisi pesawat udara yang mengecek dan memperbaiki sebuah pesawat atau teknisi laboratorium yang mengoperasikan perangkat laboratorium dan menganalisa hasil tes pada prinsipnya adalah pekerja gold collar. Sekarang tampaknya lini-lini bisnis lainpun menuntut hal yang serupa jika ingin menang di era teknologi ini.

Satu hal mendasar yang perlu dipikirkan adalah mengubah warna ketenagakerjaan kita dari pekerja-pekerja blue collar atau white collar yang selama ini ada menjadi gold collar? Tentu saja sekolah-sekolah, politeknik dan universitas akan bekerja keras untuk mempersiapkan lulusan-lulusan handal dengan pemikiran cemerlang dan tangan yang cekatan. Namun demikian pekerja gold collar harus meningkatkan kemampuan mereka mengiringi perkembangan teknologi yang juga kian cepat. Artinya belajar telah menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa berhenti, belajar kini harus menjadi suatu proses yang berkesinambungan dan tentunya juga membutuhkan biaya yang dapat dikatakan tidak kecil. Namun pikirkanlah “emas” yang dapat diberikan oleh pekerja gold collar ini bagi perusahaan dan perekonomian kita. Tentu saja sebagai langkah awal kita perlu mensosialisasikan keberadaan dan kebutuhan perusahaan akan kelompok pekerja baru ini kepada para stakeholder-shareholder,yaitu para karyawan dan orang-orang keuangan agar mereka dapat mendukung proses belajar berkesinambungan yang sangat dibutuhkan oleh pekerja-pekerja emas kita. Untuk itu, program training maupun coaching yang diadakan pun perlu berkesinambungan dan menstimulasi “tangan” dan “pemikiran” dari setiap karyawan.

Loyalitas

0

Written on 00.15 by Ed's-HRM

Loyalitas

Ada sebuah pertanyaan yang mungkin sering terdengar dari para pemilik perusahaan atau para manager HRD pada era tahun 90 an, yaitu mengenai apakah diperlukan sebuah penilaian mengenai loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Memang saya merasakan sendiri betapa pada era itu banyak karyawan terjangkit virus “ kutu loncat” karena pada saat itu bagi mereka yang sering gonta- ganti perusahaan adalah mereka yang dianggap berhasil dalam kariernya sehingga ada ungkapan bahwa semakin banyak bekerja pada banyak perusahaan semakin orang itu dihargai sebagai orang yang “hebat”. . Sementara bagi mereka yang “mendekam” lama pada sebuah perusahaan adalah mereka yang dinilai masuk dalam kategori “ kuno “ walaupun begitu, anggapan itu yang terasa menyesakkan namun bagi mereka yang dikatakan “kuno” berkilah dan mempunyai alasan bahwa lamanya mereka di satu perusahaan karena mereka merasa nyaman tinggal disana, dan kenyamanan itu yang mungkin tidak akan mereka dapatkan di perusahaaan lain.

Memang sulit untuk kita definisikan bahwa orang yang terus bertahan dalam satu perusahaan adalah mereka yang mempunyai loyalitas tinggi karena lamanya mereka tinggal pada sebuah perusahaan menyangkut adanya persoalan individual atau personal yang mempengaruhinya. Jika kita menginginkan sebuah contoh mengenai loyalitas, ada baiknya kita melihat para abdi dalem yang bekerja untuk sultan di Yogyakarta, menurut kabar , gaji mereka sangat kecil apabila dibandingkankan dengan ukuran kebutuhan hidup layak (KHL) saat ini namun mereka tetap bekerja dengan sungguh-sungguh dengan tidak memperdulikan besar kecilnya gaji atau penghasilan mereka. Bagi mereka bekerja adalah pengabdian kepada raja dan ini dilakukan seumur hidup mereka, inilah, yang bagi saya, merupakan sebuah loyalitas tinggi atau sebuah pengabdian namun dalam konteks sebuah perusahaan, hal ini mungkin akan sulit kita temukan dimanapun.

Disisi lain, jika kita melihat mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri maka akan sangat jarang kita akan menemukan seorang pegawai negeri berhenti ditengah jalan atau dengan kata lain, mereka mengundurkan diri untuk bergabung dengan perusahaan swasta. Pegawai negeri yang berhenti banyak disebabkan karena mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran berat yang melawan hukum seperti melakukan tindak pidana korupsi, sementara untuk pelanggaran indisipliner seperti tidak masuk kerja dalam waktu yang cukup lamapun, hanya dikenakan sangsi saja tanpa kehilangan haknya sebagai pegawai negeri. Dengan kenyamanan seperti ini maka mereka cenderung menghabiskan seluruh waktu kerjanya sampai memasuki usia pensiun tetap sebagai pegawai negeri.

Mengacu dari contoh-contoh diatas, maka masih relevankah pada saat ini jika sebuah perusahaan menginginkan adanya sebuah loyalitas dari karyawannya, buat saya, ini sangat relatif karena dalam situasi sekarang ini kebutuhan dan keberadaan (Supply & demand) akan tenaga handal tidak seperti dulu, saat ini tenaga-tenaga handal mungkin sudah sangat berlebih, hal ini dimungkinkan dengan dibukanya pasar bebas dengan banyaknya tenaga asing masuk ke Indonesia serta kecenderungan perusahaan besar lebih percaya kepada mereka (tenaga asing), tetapi dilain pihak banyak juga para pemilik modal menginginkan orang-orang kepercayaan mereka untuk tetap tinggal di perusahaan karena mereka sudah sangat percaya kepada orang-orang itu.

Bahwa loyalitas pada saat ini bukan merupakan hal penting bagi perusahaan sebagaimana dapat kita lihat dengan banyaknya perusahaan yang lebih memilih outsourch atau memberlakukan kontrak kepada tenaga kerjanya, fenomena inilah yang akhirnya menjadi trend kedepan, era kutu loncat sudah berlalu dan kini semua pemilik modal lebih memilih atau berorientasi kepada profit semata akibatnya urusan tenaga kerja bukan merupakan prioritas utama seperti dulu ada ungkapan bahwa karyawan perusahaan merupakan asset yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.. Untuk lebih mengerti mengenai loyalitas dibawah ini ada sebuah tulisan yang dapat juga dijadikan sebagai ilustrasi tambahan mengenai loyalitas.

Loyalitas? Kenapa Tidak?

Masih ingat masa-masa karir sebelum krisis? saat di mana perusahaan seolah tidak punya bergaining power terhadap karyawan? Setiap eksekutif,terutama dibidang perbankan,dengan mudah mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Secara otomatis baik bergaining power ,gaji,dan fasilitas yang kian meninggi ini juga digapai dengan cara pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sampai-sampai istilah “kutu loncat” dianggap sebagai suatu kebanggaan. Benar-benar masa keemasan bagi para eksekutif.

Pada tahun 1990-an tersebut, loyalitas atau bertahannya seseorang pada satu perusahaan tertentu dianggap kuno. Para eksekutif mengklaim bahwa loyalitas yang benar bukan diarahkan kepada perusahaan,tetapi lebih pada profesi.

Ada beberapa fenomena lain yang justru terjadi pada pasca era buku The War of Talent oleh Ed Michaels, Helen Handfield-Jones, dan Beth Axelrod yang menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan sukses memang cenderung,bahkan terobsesi,untuk merekrut orang berbakat dan memiliki prestasi TOP. "buat apa capek-capek mendidik,bajak saja yang sudah jadi di pasaran,toh mereka pada akhirnya juga tidak setia,” demikian ungkap CEO sebuah perusahaan terkemuka. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep hubungan kerja jangka pendek ini tidak hanya diciptakan oleh karyawan,namun juga dari pihak perusahaan.

Nah apa betul perusahaan bisa survive dengan proses regenerasi macam ini? Seorang teman saya bekerja sebagai eksekutif top di perusahaan berkinerja terbaik di Indonesia. Ketika ditanya apa yang menyebabkan dirinya dapat bertahan untuk berkarir di perusahaan tersebut selama 20 tahun, secara lugas ia menjawab bahwa kesuksesan ini diperoleh karena sikap kerja,patriotisme, dan loyalitas!. Hampir pada setiap posisi dan fungsi ia mencapai higly sustainable alias orang yang sangat perlu dipertahankan oleh perusahaan. Pada saat sekarang dimana anggota direksi terdiri dari orang-orang muda yang cerdas dan kreatif,tiba-tiba teman saya ini mendapatkan penugasan penting,seperti negosiasi bisnis,pengambilan keputusan berat,yang tidak hanya membutuhkan analisa obyektif semata namun juga memerlukan “guts” ( baca : intuisi ), “feeling” serta “jam terbang”.

Dari contoh ini , kita dapat melihat bahwa Company knowledge pada saat tertentu menjadi sesuatu yang mungkin lebih penting dari hal-hal lainnya. Pengetahuan dan penghayatan SWOT,kultur, dan manuver perusahaan yang terbukti sukses,terkadang juga diperlukan,disamping terobosan-terobosan kreatif.

Ide hubungan kerja jangka pendek antara karyawan dengan perusahaan memang perlu ditinjau kembali. Perusahaan tidak bisa sekadar menawarkan gaji besar sebagai imbalan,tanpa mengindahkan hubungan yang bersifat jangka panjang. Tim manajemen yang terdiri dari karyawan bermasa kerja pendek, walaupun penuh talenta dan kreativitas,tidak selalu menjadi jawaban dari rencana pengembangan atau solusi dari masalah perusahaan. Selain itu,tidak sedikit perusahaan yang kemudian menderita karena biaya SDM yang mencekik leher. Hubungan kerja “mata duitan" di era “war of talent” tadi juga membatasi pengembangan internal karyawan,yang pada kenyataannya sangat bermanfaat.

Di lain fihak,era “a job for life” pun sudah tidak pernah bisa kembali. Selain penyediaan program pensiun penuh sudah tidak bisa dipenuhi lagi oleh kebanyakan perusahaan,karyawanpun ingin mempunyai kebebasan lebih besar dalam menentukan karirnya.

Baik karyawan maupun perusahaan sekarang ini mempunyai pilihan untuk memilih hubungan kerja jangka panjang yang bersifat lebih dinamis. Kita perlu yakin bahwa masa kerja yang panjang tidak selamanya berdampak pada kejenuhan dan turunnya produktivitas karyawan. Karena itulah,tawaran rekrutmen perusahaan juga perlu menjanjikan pengembangan karir yang fantastis,seperti kesempatan memimpin,bermitra,pelatihan yang serius,dan keterbukaan komunikasi.

Dari sisi karyawan,perlu dicatat kemungkinan terjadinya skandal korporasi yang bisa membahayakan karir, bila hanya memikirkan keuntungan finansial jangka pendek. Loyalitas pada perusahaan, yang dibarengi dengan pengendapan pemahaman mengenai praktek pengembangan perusahaan,adalah aset berharga. Aset ini tidak hanya bermanfaat selama seseorang bekerja di perusahaan,namun juga akan terbawa dalam karir selanjutnya, selama kita tidak berhenti belajar.

Loyalitas karyawan ternyata merupakan aset perusahaan yang bisa memberikan keuntungan timbal balik. Hubungan saling percaya antara perusahaan dengan karyawan ini perlu dan harus dikembangkan,serta dibuktikan oleh masing-masing fihak. Sehingga,tidak hanya perusahaan yang mendapat keuntungan dari loyalitas karyawan tapi karyawan pun mendapatkan manfaat yang sama pula!

Program Orientasi

0

Written on 16.36 by Ed's-HRM

Program Orientasi

Ketika datang pegawai baru yang merupakan kiriman dari kantor pusat maka seperti biasa bagian HRD mulai menyiapkan program orientasi bagi karyawan tersebut. Program ini dibuat agar para pegawai baru dapat dengan cepat mengadaptasi lingkungan pekerjaan baik secara teknis maupun non teknis. Biasanya dalam program ini dilakukan juga penilaian terhadap pegawai baru, karena bagaimanapun juga sebagai pengelola SDM perusahaan kita harus bisa menilai sisi baik maupun sisi kurang baik dari setiap pegawai terutama pengetahuan dan skillnya ditambah sikap kerjanya. Sebenarnya hasil penilaian yang dilakukan, banyak pegawai yang tidak memenuhi kriteria untuk menjadi pegawai namun karena sesuai SOP maka kepada mereka diberikan program pelatihan sesuai kebutuhan sebagaimana hasil penilaian tadi.

Sebagai salah satu elemen dari program pengembangan karyawan pada sebuah perusahaan, program orientasi tentu sangat penting karena biasanya penilaian dari proses rekrutmen belum menyeluruh (komprehensif) terutama yang menyangkut teknis pekerjaan di lapangan. Memang seperti kita ketahui banyak juga perusahaan yang menginginkan agar setiap karyawan baru yang masuk sudah mempunyai pengalaman yang memadai sehingga tidak perlu “repot” lagi melaksanakan pengembangan atau orientasi bagi pegawai baru dimana waktu yang diperlukan cukup lama. Bagi para pengelola SDM perusahaan program-program yang telah dibuat dan direncanakan serta dilaksanakan secara terus menerus akan membuat rasa kejenuhan atau kebosanan selain itu program-program itu seperti pekerjaan yang menjadi sebuah kewajiban saja alias rutinitas saja, kekecewaan akan bertambah lagi ketika selesai melakukan program banyak karyawan baru mengundurkan diri dari perusahaan.

Pembahasan kita kali ini adalah untuk menjawab mengapa banyak karyawan yang akhirnya mengundurkan diri setelah mengikuti program orientasi dan atau program pengembangan. Tidak bisa kita pungkuri bahwa adanya pegawai baru yang masuk akan membawa sesuatu yang dianggap “negatif” oleh sebagian karyawan lama bahkan biasanya sering dilakukan pengucilan, apalagi ketika pegawai baru mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan yang mengganggu kenyamanan pegawai lama. Selain itu dari sisi lain, tidak jarang program orientasi ini tidak tertata dengan baik sehingga tidak memberikan informasi yang jelas akibatnya membuat pegawai baru tidak mengerti harus berbuat apa untuk perusahaan

Tak Kenal maka Tak Sayang

Rekrut,training sebentar,cemplungkan ke pekerjaan,berproduksi, lantas keluar lagi,rekrut lagi…..Kita merasa seperti berjalan ditempat..” keluh seorang manajer pengembangan SDM,berkaitan dengan turn over karyawan baru yang besar. Padahal di tempatnya bekerja program pelatihan,orientasi untuk karyawan baru sudah dijalankan. Dimana kesalahannya?

Tidak jarang kita menemui karyawan baru di perusahaan menatap dengan pandangan kosong,terlihat ragu-ragu,dan bila didatangi oleh salah satu pimpinan perusahaan akan berpura-pura sibuk. Yang lebih berani akan menghadap ke bagian SDM dan mengeluhkan tidak jelasnya tugas ataupun kegiatan orientasi yang diberikan kepadanya. Ternyata,program kelas,tandem dengan karyawan senior,atau on the job training yang sudah dirancang bagian pengembangan SDM sering dirasakan para trainee tidak cukup.

Seorang CEO perusahaan,secara obsesif meluangkan waktu untuk duduk bersama dalam program-program orientasi perusahaan bagi karyawan baru. Ia tidak sekedar memberi pengarahan tentang visi perusahaan ataupun gambaran umum tentang apa yang diinginkan dari para karyawan,tetapi juga mengikuti dengan seksama apa yang ditranformasikan rekan-rekan manajer perusahaan kepada trainee,serta bagaimana para senior ini menangani tanya jawab mengenai praktik di perusahaan. Pada akhir masa orientasi, setiap orang harus menghadap CEO ini dan melakukan tanya jawab. Para trainee selalu memandang kegiatan ini sebagai “ujian lisan”, namun aneh tapi nyata,mereka sangat menikmatinya.

Memang tidak semua pucuk pimpinan meluangkan waktu untuk karyawan baru di perusahaan. CEO yang terlibat dalam program orientasi karyawan baru berpendapat bahwa upaya ini secara tidak langsung akan menekan biaya manajemen perusahaan. Dengan cara ini diharapkan karyawan baru dapat mengenal dan mengimplementasikan praktik-praktik yang berlaku di perusahaan dengan cepat. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap hal ini, maka semakin tinggi pula biaya kesalahan dan penundaan yang harus ditanggung oleh manajemen.

Karyawan baru sebenarnya dapat disamakan dengan imigran. Mereka perlu mempelajari sejarah, gaya bertingkah laku. Code of conducts,gaya komunikasi, “bahasa” yang biasa digunakan,dan kultur perusahaan,serta harapan manajemen terhadap kinerja karyawan. Harus diingat bahwa ini semua tidak bisa dituangkan hanya melalui formulir-formulir,buku petunjuk,ataupun pengarahan.

Ada 3 (tiga) tingkatan orientasi yang perlu dialami karyawan sebelum benar-benar ia dapat bertingkah laku secara “pas” di perusahaan.

Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya. Disini selain pengarahan yang diberikan oleh manajer divisi di kelas, seorang karyawan baru juga perlu dibimbing ketat oleh seseorang yang sudah mengenal tugas tersebut dengan baik. Terkadang seorang profesional sekalipun,walau sudah trampil dalam menjalankan tugas,tetap perlu mengetahui bagaimana kebiasaan-kebiasaan dalam perusahaan dijalankan, yang mungkin berbeda dengan tempat ia bekerja dahulu. Disini program tandem dalam on the job training akan sangat mempan.

Kedua, lebih mengarah pada karyawan baru perlu bertingkah laku dalam kelompok,divisi,atau unitnya. Disalah satu perusahaan,diatur adanya seorang “buddy” yang akan menemani karyawan baru,dan menjadi tempat mengajukan pertanyaan. Misalnya saja,mengenai kebiasaan makan siang,apa yang harus dilakukan sendiri kalau mesin fotocopy macet,prosedur meminta ganti uang taksi, dan sebagainya. Disini divisi SDM juga berkewajiban untuk menyiapkan informasi yang komunikatif tentang bagaimana mengajukan permintaan,apa yang akan didapat karyawan,serta apa yang merupakan hak dan kewajiban karyawan.

Ketiga atau yang tertinggi,beberapa manajemen puncak akan memfokuskan perhatian pada transfer sebanyak mungkin pemahaman mengenai prinsip-prinsip komunikasi,nilai-nilai yang dianut perusahaan,serta bagaimana seorang karyawan dapat berpartisipasi dan berkontribusi di perusahaan. Ditansfernya isu-isu ini oleh manajemen puncak sendiri benar-benar bernilai filosofis.

Dengan adanya otomasi yang demikian friendly, program orientasi inipun bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menggunakan video interaktif,program-program on-line,buku karyawan, dan program mentoring lainnya yang kreatif.

Dengan program orientasi yang tepat,kita juga menghemat biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Bila seorang karyawan yang sudah diberi pelatihan selam 3 bulan tapi tetap mengundurkan diri karena program orientasi yang tidak jelas,secara otomatis,biaya rekrutmenpun akan berlipat ganda.

Seperti kata pepatah,tak kenal maka tak sayang. Bagaimana karyawan baru dapat bertahan,bila mereka tidak “mengenal” perusahaan tempatnya bekerja? Oleh karenanya sangat dibutuhkan kesadaran dari pihak manajemen dan konsistensi dalam pelaksanaan program orientasi. Niscaya,karyawan baru akan bertahan dan menjadi salah satu aset berharga bagi perusahaan.

Rekrutmen

0

Written on 23.12 by Ed's-HRM

Rekrutmen

Banyak pertanyaan yang sering kita dengar maupun kita baca di beberapa media tentang persyaratan untuk seorang manajer atau pengelola SDM haruslah seorang yang berlatar pendidikan Psikologi dan atau dengan latar belakang pendidikan Hukum, pertanyaannya bagaimana dengan orang yang berlatar pendidikan dengan disiplin ilmu lain, dapatkah menjadi seorang manajer SDM pada sebuah perusahaan, menurut pendapat saya bahwa semua orang dengan latar belakang pendidikan apapun dapat menjadi manajer SDM karena jika kita telaah ada beberapa tugas manajer SDM pada sebuah perusahaan dilakukan oleh kepala unit atau bagian di Perusahaan, yang notabene para kepala unit bukanlah berlatar belakang pendidikan psikologi atau hukum.

Mengenai pertanyaan diatas tentu bukan hal yang mengagetkan karena persyaratan itu dibuat untuk mengakomodir kepentingan perusahaan dalam melakukan rekrutmen, seperti kita ketahui bahwa rekrutmen dilakukan oleh setiap perusahaan tentu didasarkan pada kebutuhan organisasi, dan setiap kebutuhan sudah merupakan hasil analisa untuk menetapkan jenis atau spesifikasi kebutuhan untuk kemudian menjadi suatu persyaratan dalam rekrutmen. Tahapan diatas tentu bagi seorang pengelola SDM perusahaan sudah merupakan pakem sehingga sewajarnya tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan oleh rekan-rekan pengelola SDM mengenai latar belakang pendidikan. Memang banyak orang yang sudah berpengalaman dalam bidang pengelolaan SDM perusahaan namun tidak berlatar belakang pendidikan psikologi maupun Hukum sehingga adanya persyaratan itu seolah-olah seperti menghilangkan peluang mereka untuk berkompetisi.

Sebuah perusahaan dalam melakukan rekrutmen tentu menginginkan atau merencanakan bahwa dengan memberikan persyaratan tertentu yang diajukan sudah merupakan seleksi awal dari sebuah rekrutmen sehingga bagi yang tidak memenuhi syarat, tidak perlu mengajukan lamaran. Dengan demikian para anggota tim penyeleksi dapat meminimalkan jumlah calon tenaga yang akan direkrut oleh perusahaan namun jika kita telaah bersama bahwa persyaratan dengan dasar atau melihat dari sisi pendidikan saja maka bentuknya jadi homogen sehingga untuk merekrut seorang manajer hal itu akan membuat sempit dari sisi pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan produk perusahaan.

Semua persyaratan yang diajukan oleh setiap perusahaan tentu mempunyai nilai plus dan minus apabila direalisasikan namun yang jelas, kita sepakat dasar dari rekrutmen adalah dari kebutuhan organisasi. Apa yang menjadi nilai plus dari persyaratan yang bersifat homogen :

1. Fokus terhadap pekerjaan

2. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air” tenaga yang direkrut akan terspesialisasi sehingga akan mempunyai nilai tambah dari sisi lain..

Sementara untuk sisi minusnya, untuk jabatan-jabatan yang terspesialisasi biasanya para pemegang jabatannya cenderung “kaku” sehingga terkesan seperti arogan terhadap penyelesaian satu masalah. Kesan “negatif” ini tentu sudah diakomodir oleh tim seleksi sehingga ketika melakukan perekrutan khususnya untuk tenaga spesialisasi biasanya para penyeleksi membuat perangkat penilaian mengenai flexibelitas calon tenaga dalam artian harus mempunyai nilai tertentu.

Dari uraian diatas terlihat jelas bahwa ada sisi yang kurang tepat apabila untuk jabatan seorang manajer dipersyaratkan dari latar belakang pendidikan spesialisasi apalagi bidang spesialisasinya sangat kecil sekali bersinggungan dengan produk perusahaan, sementara untuk jabatan-jabatan fungsional memang sebaiknya sudah terspesialisasi dari awal terutama dari sisi latar belakang pendidikan.

Memang bukan perkara mudah untuk mendapatkan tenaga yang terbaik dari para calon pelamar yang diseleksi karena biasanya para tenaga handal sudah bergabung dengan perusahaan-perusahaan besar sehingga yang “tersisa” adalah mereka-mereka yang dapat dikategorikan atau terbagi dalam beberapa jenis, antara lain :

1. Fresh graduate, tenaga yang belum berpengalaman dalam bekerja biasanya hanya dengan modal kemauan keras saja, itupun harus perlu pembuktian dalam seleksi.

2. Freelance , tenaga yang telah berpengalaman namun dari sisi persyaratan tidak dapat memenuhinya, biasanya karena pendidikan dan usia tetapi umumnya mereka mempunyai nilai atau posisi tawar tinggi sehingga perusahaan menghindari tenaga seperti ini.

3. Mereka yang terkena PHK baik karena melakukan pelanggaran atau karena efisiensi perusahaan. Disini tim seleksi harus berhati-hati karena banyak perusahaan yang “terpaksa “ memberikan surat keterangan pengalaman kerja walaupun tenaga dimaksud mempunyai track record yang kurang baik.

Sebenarnya diluar ketiganya, ada tenaga yang tidak pernah menganggur namun juga tidak pernah lama bekerja dalam satu perusahaan, selalu berpindah-pindah, mereka inilah tenaga-tenaga professional yang telah membangun jaringan (network) sedemikian rupa sehingga untuk mendapatkan satu pekerjaan bagi mereka bukan perkara yang sulit. Untuk mendapatkan tenaga professional seperti itu, banyak perusahaan besar yang mencoba masuk kedalam jaringan mereka atau dapat juga menggunakan tenaga Headhunter.

Disisi lain ada juga karyawan yang telah bekerja cukup lama dan merasa dirinya sudah punya kemampuan yang tinggi sehingga memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan lain dan yang menjadi dasar ketertarikan untuk pindah adalah karena diiming-imingi gaji besar, sebenarnya yang bersangkutan bisa bergabung karena direkomendasikan oleh rekannya yang terlebih dahulu masuk keperusahaan itu. Karyawan tersebut memutuskan untuk keluar walaupun pada saat itu perusahaan tempatnya bekerja telah menaikkan gajinya sebesar 50% Ketika karyawan itu mulai bekerja, ternyata pihak perusahaan memberikan pekerjaab yang disesuaikan dengan gajinya yang tinggi namun ternyata pihak perusahaan menilai karyawan tersebut tidak perform akibatnya perusahaan merasa dirugikan dan mengambil keputusan untuk segera menurunkan gajinya yang besarnya jauh dibawah gaji yang diterima di perusahaan lama, akhirnya karyawan tersebut mengundurkan diri karena merasa dilecehkan. Ini adalah sebuah contoh yang riil bahwa merekrut seseorang melalui jaringan yang dibangun, tidak menjamin akan kualitasnya.

Sekarang mari kita lihat Sumber Daya Manusia dari sisi kuantitas yang masih tersedia alias belum belum bekerja, dari data pemerintah, saat ini ada kurang lebih 700 ribu tenaga sarjana baik S1 maupun S2 yang mengganggur, sebuah angka yang besar dan hampir semua dari mereka ini merupakan tenaga freshgraduate yang belum dapat pekerjaan tetap dan terus memburu pekerjaan, ini dapat dilihat hampir disetiap pameran tentang lowongan kerja terus diserbu peminatnya. Sumber Daya Manusia yang melimpah seperti itu tentu akan mengakibatkan persaingan semakin ketat karena lowongan yang tersedia sangat minim dan tentu dampaknya akan merugikan karena akan membuat makin rendahnya posisi tawar mereka sendiri Sementara dari sisi kualitas belum ada kajian khusus mengenai SDM diatas namun berdasarkan informasi di beberapa media, banyak perusahaan yang mengeluh mengenai kualitas dari para freshgraduate dimaksud namun jika dibanding dengan penghasilan yang diterima mereka tentu sangat minim, jadi ada kesetaraan antara kualitas dan gaji atau penghasilan.

Jika kita berbicara ideal tentu seperti keinginan pemerintah seyogyanya mereka harus mampu membangun pekerjaan sendiri tanpa tergantung dari kegiatan orang lain sehingga pengalaman bekerja itu dibangun oleh diri sendiri dan hal ini akan mempunyai efek domino yang besar terhadap perekonomian Negara.. Secara kumulatif angka pengganguran untuk para tenaga sarjana tentu akan lebih banyak lagi bila kita gabungkan dengan mereka yang freelance maupun yang terkena PHK, angka pengangguran bisa menembus angka diatas 1 juta orang ini khusus untuk tenaga sarjana, bagaimana dengan tenaga kerja yang berada diluar strata pendidikan itu tentu akan lebih besar lagi.

Kembali kepada pola rekrutmen yang ingin kita terapkan di perusahaan, maka data-data diatas dapat saja dijadikan acuan atau bahan pertimbangan yang mendalam karena dalam melakukan rekrutmen kita harus sedapat mungkin menghndari kesalahan rekrut karena kesalahan itu akan berdampak kepada perusahaan untuk jangka waktu yang lama dalam arti perusahaan akan menanggung seorang karyawan dari awal sampai dengan pensiun karena biasanya kita sebagai manusia tidak tega untuk mengeluarkan karyawan yang tidak perform, sebuah pertimbangan yang manusiawi. Kegagalan rekrut juga bisa dilihat dari penempatan karyawan yang direkrut ternyata tidak ditempatkan pada atau sesuai kebutuhan organisasi, kegagalan ini selain organisasi akan semakin gemuk juga akan menurunkan kinerja perusahaan, jadi rekrut adalah kegiatan awal yang menentukan laju atau tidaknya sebuah perusahaan.

Multitask bagi Manajer SDM

0

Written on 20.20 by Ed's-HRM

Multitask bagi Manajer SDM

Disaat diberi kepercayaan oleh manajemen sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta, sesungguhnya hal ini merupakan sebuah kesempatan bagi saya untuk menata ulang sebuah perusahaan yang secara lingkup kerja merupakan perusahaan kelas menengah, untuk diketahui bahwa perusahaan ini bergerak dibidang pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini bidang pertambangan batubara. Adapun lokasi pertambangan batubara yang dikelola perusahaan ini berada diluar Pulau Jawa yakni dipulau Kalimantan. Sebelum melakukan tugas tersebut, kami melakukan diskusi atau mempunyai kesempatan untuk berdiskusi mengenai tugas dan tanggung jawab yang harus saya laksanakan disana. Pihak manajemen memberikan gambaran mengenai situasi dan kondisi dari area kerja perusahaan baik mekanisme kerja juga mengenai hubungan interaksi antara karyawan dan manajemen serta hubungan sosial dengan masyarakat sekitar area kerja dalam hal ini area pertambangan batubara. Gambaran yang diberikan pada saat itu tidak mencerminkan adanya permasalahan yang krusial namun sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan pertambangan khususnya pertambangan batubara yang berskala menegah seperti ini, gambaran dimaksud membuat saya harus membuat kajian sederhana tentang permasalahan yang biasa terjadi pada dunia pertambangan sehingga pada saat itu kami memberikan hal-hal yang mungkin terjadi pada area penambangan dan yang perlu dikaji lebih dalam adalah budaya masyarakat sekitar yang dikaitkan dengan tenaga kerja lokal namun buat saya ini adalah tantangannya karena dapat dipahami bahwa perusahaan tidak ingin tenaga yang direkrutnya mundur terlebih dahulu sebelum melihat permasalahan yang sebenarnya, karena rasanya sangat tidak masuk akal, jika perusahaan mengatakan tidak ada masalah tetapi perlu merekrut tenaga yang sudah pengalaman.

Ternyata apa yang dipikirkan sebelumnya ada benarnya, perusahaan ternyata dalam kondisi mismanajemen, hampir dikatakan perusahaan dalam kondisi kritis yang menurut pendapat saya sudah tinggal menunggu waktu saja. Beberapa hal yang menurut saya mempunyai masalah adalah :

1. Kondisi pasar batubara sedang lesu

2. Karyawan terlalu banyak dibanding produksinya

3. Hutang perusahaan kepada kontraktor belum terbayarkan

4. Adanya rongrongan dari masyarakat sekitar pertambangan

5. Biaya operasional yang terus meningkat

Kelima permasalahan ini yang nampak dipermukaan atau yang mendominasi terhambatnya kegiatan perusahaan akan tetapi masih banyak lagi masalah lain namun tidak terlalu sampai mengganggu manajemen perusahaan. Indentifikasi masalah ini dilakukan agar kita tidak salah dalam melakukan langkah awal dalam pemecahaannya dengan demikian kalau boleh mengambil bahasa manajemen yaitu kita selesaikan masalah yang dominan maka permasalahan lain yang kecil akan otomatis ikut terselesaikan (hukum Pareto).

Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia ke SDM an, maka persoalan-persoalan diatas bukan hal yang baru karena hampir setiap perusahaan mempunyai permasalahan yang sama tetapi yang perlu dievaluasi adalah akar permasalahannya yang mengakibatkan atau munculnya masalah-masalah dimaksud serta kita harus mampu mengidentifikasi langkah awal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan setiap masalah. Hampir dapat dikatakan bahwa kelima permasalahan diatas mempunyai saling keterkaitan satu dengan lainnya sehingga ketika dihadapkan pada permasalahan tersebut maka yang dilakukan pertama adalah menata ulang sisi Sumber Daya Manusia Perusahaan (SDM), hal ini yang pertama dilakukan karena sebagai orang yang berpengalaman dibidang SDM tentu langkah pertama ini diambil karena dapat dilakukan dilingkungan internal perusahaan tanpa melibatkan orang luar selain itu sambil proses berjalan maka identifikasi permasalahan yang lain dapat dilakukan untuk nantinya jadi bahan dalam pemecahannya.

Salah satu kelebihan jika kita berkutat dengan pengelolaan SDM maka dalam proses perjalanannya kita akan banyak bertambah atau mendapatkan hal-hal yang baru akan pengetahuan (enlargement) tetapi juga akan memperkaya pola pikir (enrichment) dalam banyak pengetahuan, itu sebabnya dalam prosesnya mengelola SDM akan selalu bersinggungan dengan pengetahuan lain sehingga ketika menata perusahaan ini banyak permasalahan diluar keSDMan yang dapat diselesaikan masalahnya baik dari sisi penjualan, keuangan dan produksi, memang kita dalam menyelesaikan masalah tidak akan bisa 100 % karena persoalan baru akan muncul terutama bidang SDM yang selalu dinamis. Selanjutnya kita tidak dapat menilai akan apa yang kita kerjakan itu telah menuai akan sebuah keberhasilan atau apakah persoalan dan permasalahan bisa kita selesaikan karena jika kita yang menilai akan menjadi subjektif, untuk itu diperlukan suatu penilaian yang objektif oleh manajemen tentang apakah ada perubahan yang terjadi pada perusahaan terutama kinerjanya. Sesuai dengan perjalanan waktu maka ketika penataan ini sudah berjalan selama enam bulan, pihak manajemen memberikan penilaian yang menyatakan bahwa di perusahaan ini telah mengalami perubahan kinerja secara signifikan dan sebagai rasa terima kasih perusahaan kepada karyawan maka pihak manjemen memberikan bonus dan kenaikan gaji kepada seluruh karyawan secara bersamaan.

Bagaimana perubahan itu bisa terjadi? Jawabannya adalah sebagai orang yang bertanggung jawab dibidang SDM maka kitapun mempunyai tanggung jawab lain yaitu bertindak sebagai konsultan atau juga sebagai mitra strategis bagi perusahaan dan berkenaan dengan itu berdasarkan seluruh kemampuan serta pengetahuan yang dimiliki ternyata dapat menyelesaikan setiap permasalahan dengan baik namun dibalik semua itu hal yang paling utama atau kunci dari keberhasilan itu adalah bagaimana kita membangun kebersamaan dalam bekerja sehingga terbangun sebuah team didalam perusahaan dan hal ini juga mampu membangkitkan budaya kerja baru. Sebuah perubahan telah terjadi namun dalam tulisan ini saya tidak dapat memberikan secara jelas bagaimana pemecahan dari setiap permasalahan karena ini menyangkut kepada rahasia perusahaan dan inilah yang akan membuat perusahaan ini akan tetap survive dimasa yang akan datang, yang penting adalah bagaimana budaya dan sistem kerja yang sudah dibangun dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan lagi. Memang jika diperhatikan dalam kegiatan sehari-hari para pengelola dibidang SDM ini harus mampu bekerja pada bidang lain untuk menyingkronkan terhadap strategi yang bakal diterapkan oleh perusahaan atau paling tidak dapat menjadi motor penggerak roda organisasi perusahaan, mungkin ini adalah sebuah keniscayaan karena banyak perusahaan yang mempunyai pengelola SDM tetapi tugasnya hanya mengurus karyawan saja atau lebih pada bidang personalia saja. Sebaliknya bahwa seorang manajer SDM harus membekali atau paling tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan multitask, jadi saya yakin apabila itu terjadi pada anda semua yang berani terus mengabdi di Pengelolaan SDM, maka suatu saat anda akan masuk pada area multitask baik di perusahaan yang sekarang atau dengan kemampuan yang dimiliki maka anda berani mengambil keputusan untuk berkarier diluar, semua sangat bergantung pada diri kita masing-masing, untuk itu kita harus mempersiapkan diri dengan sebaiknya agar mampu berkerja dengan multitask, siap!

Turn Over

2

Written on 17.29 by Ed's-HRM

Ada yang mengatakan bahwa salah satu keberhasilan atau kesuksesan dalam mengelola Sumber Daya Manusia dalam Perusahaan adalah ketika indikator Turn over Karyawan rendah, ini berarti kemampuan kita dalam memanage karyawan sudah memadai. Walaupun bukan satu-satunya indikator namun beberapa pengelola SDM menilai bahwa indikator ini sangat dipengaruhi banyak faktor, baik dari internal maupun eksternal perusahaan sehingga akan sulit mencapai angka turn over rendah namun hal inilah yang dapat dijadikan tantangan berat bagi para pengelola SDM perusahaan.

Tidak ada angka pasti untuk turn over yang ideal tetapi semakin tinggi angka turn over, mengindikasikan adanya persoalan dalam pengelolaan SDM Perusahaan, agar dapat menekan angka turn over menjadi rendah adalah dengan mempertahankan karyawan yang secara ideal, mempunyai kinerja tinggi, pengelola SDM tentu harus kerja ekstra keras terutama memantau perkembangan gaji diperusahaan lain termasuk didalamnya perusahaan kompetitor karena hengkangnya karyawan, paling banyak disebabkan oleh perbedaan gaji yang diterima karyawan pada satu perusahaan dengan perusahaan lain berbeda, disinilah manfaat dari aplikasi penggunaan hasil survey gaji. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada era kompetitif seperti sekarang ini, perburuan terhadap orang yang mempunyai kinerja tinggi akan terus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam rangka memenangkan persaingan bisnis. Banyak perusahaan yang tidak mau memeras keringat untuk mengembangkan karyawan supaya berkinerja tinggi karena berbagai alasan dan yang paling utama adalah kekhawatiran akan diburu oleh kompetitor sementara harga (cost) untuk mengembangkan karyawan sangat tinggi artinya perusahaan bisa mendapat rugi duakali. Akibatnya banyak perusahaan yang langsung mengambil tenaga “jadi” dari perusahaan lain karena secara matematis akan lebih menguntungkan.

Berbeda dengan perusahaan yang mempunyai turn over rendah tetapi karyawan yang ada ternyata tidak mempunyai kinerja tinggi melainkan karyawan dengan kinerja standar saja atau biasa-biasa saja atau bahkan dibawah standar. Mungkin bagi perusahaan seperti ini, angka turn over bukan merupakan indikator keberhasilan namun persoalannya adalah bagaimana meningkatkan atau mengembangkan karyawannya agar kinerjanya meningkat tetapi sekali lagi, jika perusahaan berhitung tentang cost pengembangan pegawai dengan resiko nantinya dibajak juga maka hal ini akan berdampak kepada pengelola SDM yang kemudian akan menjadi pasif, akibatnya secara umum, tidak akan meningkatkan kinerja perusahaan. Disisi lain perusahaan yang mempunyai turn over rendah dengan karyawan berkinerja rendah, boleh dikatakan angka turn over rendah ini akan bertahan lama karena para karyawan tidak punya pilihan untuk keluar dan perusahaan akan berjalan biasa-biasa saja. Bagaimana agar ada perubahan pada perusahaan, apa yang dibutuhkan, yang jelas untuk merubah diperlukan adanya suatu trigger yang kuat, dari pengalaman yang saya alami biasanya perusahaan seperti ini tidak mempunyai sistem yang baku untuk dijalankan sehingga semua berjalan dan bekerja secara rutin saja. Ketika sistem dibuat dan dijadikan acuan dalam proses kegiatan perusahaan maka yang terjadi adalah angka turn over berubah menjadi tinggi, hal ini disebabkan banyak karyawan yang menyatakan mundur dengan berbagai alasan namun bagi saya mereka tidak tahan dengan sistem yang dijalankan.

Kasus diatas ini menjadi menarik karena dengan angka turn over tinggi sementara karyawan yang ada mempunyai kinerja rendah, setelah ditelusuri ternyata perusahan ini sudah kelebihan karyawan sementara volume pekerjaan rendah, dengan demikian, ketika ada karyawan yang keluar maka tentunya akan berkorelasi dengan kinerja perusahaan, yang saat itu secara umum mulai ikut naik. Kejadian ini banyak terjadi pada perusahaan yang mismanajemen sehingga untuk merubahnya diperlukan penanganan yang ekstra hati-hati, agar tidak merusak sistim yang sudah dibuat.

Bagaimana dengan perusahaan yang mempunyai angka turn over tinggi dengan karyawan yang ada mempunyai kinerja tinggi juga, sudah pasti pengelola SDM akan mempunyai tugas yang berat yaitu harus siap setiap saat mencari dan merekrut karyawan baru dengan kriteria mempunyai kinerja tinggi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, agar kinerja perusahaan mampu dipertahankan. Sebaliknya apabila karyawan tersebut merupakan hasil pengembangan internal perusahaan maka hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rutin lagi bagi pengelola SDM perusahaan agar merekrut tenaga yang berkinerja standar untuk dikembangkan lagi, demikian seterusnya berulang-ulang. Bagi perusahaan yang seperti ini, loncatnya karyawan yang telah dikembangkan sedemikian rupa, bukan merupakan sebuah persoalan yang merugikan tetapi mereka lebih melihat jauh kedepan dan mempunyai nilai strategis bagi perusahaan.

Banyak pertanyaan yang muncul ketika sebuah perusahaan dengan tenang melepas karyawan-karyawan terbaiknya untuk bekerja di perusahaan lain yang notabene adalah kompetitornya, jika kita melihat ini tentu pertanyaan akan muncul dari orang-orang yang selama ini selalu menghitung biaya pengembangan sebagai sebuah cost tinggi tanpa melihat nilai strategisnya kedepan. Nilai strategis yang seperti apa yang diharapkan perusahaan tersebut, menurut pemikiran saya, nilai tambah yang diambil adalah :

1. Dengan diambilnya karyawan oleh perusahaan lain apalagi sebagai kompetitornya maka perusahaan tersebut tentu saja sudah dapat mengukur kekuatan kompetitornya sehingga daya saing semakin dapat dipertahankan.

2. Masuknya karyawan baru untuk dikembangkan akan menghasilkan daya inovatif tersendiri sehingga perusahaan akan terus berkembang dengan ide-ide baru yang original.

3. Apabila ada perusahaan lain yang berani melakukan transfer karyawan tentu ini punya nilai keuntungan tersendiri secara finansial, disisi lain perusahaan tidak mengeluarkan dana samasekali ketika karyawan keluar dari perusahaan,

Ada juga perusahaan yang mempunyai angka turn overnya rendah namun didalam perusahaan banyak karyawan yang berkinerja tinggi dan mereka tidak mempunyai keinginan untuk pindah ke perusahaan lain walaupun gaji yang diterima lebih rendah dari karyawan yang berada di perusahaan kompetitornya. Sebenarnya inilah perusahaan yang ideal namun perusahaan seperti ini sangat sedikit sekali, apalagi di era keterbukaan komunikasi saat ini tentu memudahkan seseorang untuk memonitor perusahaan lain, Kunci sukses perusahaan seperti ini adalah adanya budaya kerja yang diterapkan di perusahaan yang membuat betah bekerja, bagi karyawan di perusahaan ini, gaji bukan nomor satu, tetapi rasa kebersamaan dan kekeluargaan lebih membuat karyawan nyaman bekerja. Membangun budaya kerja seperti inilah yang menjadi tantangan bagi kita semua pengelola SDM perusahaan.

Sekali lagi turn over bukan satu-satunya indikator keberhasilan dalam mengelola SDM tetapi yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan kinerja perusahaan atau mempertahankan kinerja perusahaan agar tetap tinggi walaupun dengan kondisi adanya frekwensi keluar masuk karyawan yang tinggi, untuk itu kerja keras para pengelola SDM dalam mempertahankan karyawan yang ada dengan segala kemampuannya namun sekali lagi kompetitor tidak akan pernah tinggal diam, jadi kembali kepada kita lagi, harus bagaimana menyikapinya.

Efisiensi Perusahaan

3

Written on 00.01 by Ed's-HRM

Dulu ketika bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kita akan pernah mendengar yang mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN termasuk perusahaan yang inefesiensi, karena banyak terjadi kebocoran sehingga tidak sedikit perusahaan yang dibawah kendali pemerintah ini, hidupnya sangat tergantung dari belas kasihan pemerintah saja dan tidak sedikit juga yang kolaps dan tutup, karena pemerintah tidak sanggup lagi menanggung beban perusahaan selamanya. Dari kebanyakan perusahaan yang kolaps dan tutup tersebut karena disebabkan oleh mismanajemen atau juga karena kalah bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis dan dikelola oleh swasta.

Sebenarnya perusahaan BUMN tidak boleh kalah bersaing dengan perusahaan swasta karena dari sisi modal, perusahaan ini tidak pernah kekurangan namun kenyataannya modal yang masuk banyak yang digunakan bukan untuk tujuan kemajuan perusahaan tetapi lebih banyak kepada biaya entertainment dan meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Memang tidak salah jika setiap perusahaan berupaya meningkatkan kesejahteraan karyawan namun jangan sampai perusahaan tidak dapat melakukan investasi atau perubahan dan peningkatan bisnis. Kesejahteraan inilah yang membuat banyak orang tergiur untuk bekerja di perusahaan sejenis BUMN, faktor inilah juga yang membuat orang terlena dan lupa akan kinerja yang harus mereka berikan kepada perusahaan, namun terkadang hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka tetapi hampir semua perusahaan BUMN terlalu “gemuk” sehingga untuk berlaripun mengalami kesulitan, artinya perbandingan antara volume pekerjaan yang rendah dan jumlah pegawai tinggi, mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam distribusi pekerjaan, maka sudah jelas, dampaknya akan banyak pegawai yang menganggur dan tidak produktif yang dikemudian hari muncul istilah pengganguran terselubung.

Konotasi negatif yang diberikan kepada perusahaan milik Negara ini membuat perusahaan saingannya yaitu perusahaan swasta menjadi incaran para pemilik modal karena mereka percaya, perusahaan swasta lebih efisien dan berkinerja tinggi. Hampir semua Bank dengan mudah akan memberikan modal kredit kepada perusahaan swasta karena mereka percaya akan kredibelitas perusahaan dilain pihak banyak pencari kerja yang akhirnya ikut masuk ke perusahaan swasta dengan harapan kehidupannya akan berubah setelah bekerja. Tetapi muncul pertanyaan, apakah benar bahwa perusahaan swasta lebih efisien dibanding perusahaan BUMN atau mungkinkah perusahaan BUMN ternyata lebih buruk kinerjanya dibanding perusahaan swasta, ternyata penilaian ini sangat relatif sekali, kita ternyata tidak dapat menggeneralisasi bahwa semua perusahaan BUMN itu tidak mempunyai kinerja yang baik demikian juga sebaliknya bahwa tidak semua perusahaan swasta mempunyai kinerja baik, memang saya tidak melakukan penelitian mengenai hal ini sehingga tidak ada data empiris mengenai perbandingan ini, namun saya termasuk yang beruntung bisa terlibat langsung dalam pengelolaan SDM dikedua jenis perusahaan diatas, sehingga saya bisa merasakan iklim kerja dari masing-masing perusahaan.

Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki ketika itu maka dengan penuh percaya diri, saya menginginkan sebuah perubahan dalam bekerja dan jalan yang ditempuh adalah mengajukan pengunduran diri dari sebuah perusahaan BUMN besar dimana selama hampir 20 tahun saya mengabdi pada perusahaan itu. Dalam jangka waktu yang tidak lama saya masuk pada dua perusahaan swasta secara berurutan, yang pertama perusahaan swasta yang berlokasi disekitar kota Bandung dan bekerja selama dua tahun kemudian memutuskan untuk resign dan masuk keperusahaan swasta yang berlokasi di pulau Kalimantan, dengan bekerja pada kedua perusahaan swasta maka ada hal-hal yang bisa dijadikan data buat saya, namun ini bukanlah bentuk judgement tetapi lebih kepada upaya saya untuk mendapatkan data, adapun data itu adalah :

1. Kedua perusahaan mempunyai persamaan yaitu pengelolaannya berdasarkan kekuatan modal saja bukan kemampuan manajerial sehingga terlihat sulit melakukan perubahan

2. Tidak terlihat adanya perencanaan strategik, semua proses operasionalnya berdasarkan perintah atasan saja

3. Terjadi pemborosan biaya tanpa adanya kendali yang cukup

Dengan adanya persamaan diatas, ternyata memudahkan saya untuk melakukan pembenahan pada kedua perusahaan dimaksud dan secara kasat mata maupun sisi laporan keuangan maka kini kedua perusahaan mampu lagi bersaing dengan baik. Sebagai tambahan dari tulisan diatas ada baiknya kita juga mempelajari sedikit mengenai bagaimana kita mampu melakukan kegiatan untuk efisiensi pada sebuah perusahaan.

Menuju Superefisiensi

Salah seorang teman dekat saya ada yang fanatik menggunakan mobil station wagon. Alasannya ternyata simple saja, “ soalnya muat ngangkut banyak sih,aku kan bisa barang banyak teman waktu berangkat maupun pulang kantor.” Setelah digali lebih lanjut,ternyata kepuasannya bukan hanya karena bisa berangkat bersam-sama teman sekantor,melainkan juga bisa berhemat karena biaya bahan bakar mobil ditanggung bersama. Selain itu jenis pekerjaan yang menuntutnya pulang agak larut kini bisa dijalani dengan tenang karena selalu ada teman searah yang bisa diajak bareng,bahkan bila kebetulan lelah ada rekan pria yang bersedia mengemudikan mobilnya. Bukan itu saja,rekan-rekan seperjalannya kebetulan bekerja pada divisi yang sama,sehingga komunikasi mengenai pekerjaan kadang berlangsung juga selama perjalanan berangkat maupun pulang.

Suatu saat ketika saya membaca mengenai konsep superefisiensi,ternyata ingatan tentang teman tadi yang pertama muncul. Kebetulan ilustrasi yang diberikan adalah kerjasama sebuah perusahaan produsen yoghurt dan sebuah perusahaan produsen mentega di Amerika. Produk dari kedua perusahaan ini tidak saling berkompetisi ,namun secara kebetulan mereka menerapkan sistem pergudangan yang sama,menggunakan transportasi yang sama dan memiliki pelanggan (supermarket/retailer lainnya) yang sama. Dengan cerdinya keduanya setuju untuk menggabungkan jaringan distribusi mereka menggunakan 1 (satu) truk container untuk mengangkut kedua jenis produk sekaligus.

Ide yang membuahkan pengurangan cost serta peningkatan kepuasan pelanggan ini terus berlanjut,misalnya dengan rencana integrasi proses pemesanan dan penagihan. Program insentif bagi pelanggan yang memesan kombinasi kedua jenis produk dalam jumlah besar juga sedang dirancang. Dengan tujuan keuntungan pada kedua belah pihak,kedua perusahaan yang lazim disebut co-suppliers ini senantiasa mencari proses atau cara yang dapat dilakukan bersama atas dasar efisiensi.

Dalam konteks organisasi masa kini,ternyata penerapan efisiensi saja belum cukup. Padahal belum lama rasanya dunia usaha serentak mencoba benar-benar menghayati dan menerapkan konsep efisiensi dalam menghadapi kondisi perekonomia global yang tidak menggembirakan. Budaya,proses-proses atau operasi kerja yang berlangsung di dalam perusahaan di evaluasi kembali dan dirombak. Tidak jarang perusahaan kemudian bak katak dalam tempurung,terlalu berkutat pada perbaikan kondisi internal sampai mengabaikan pemahaman terhadap pelanggan dan pelayanan terhadap mereka. Alih-alih memenuhi harapan pelanggan,pembaharuan yang kita sodorkan ternyata tidak sesuai atau malah merepotkan pelanggan dalam memanfaatkan jasa kita.

Konsep superefisiensi sebenarnya mengacu pada pengelolaan proses atau tahapan-tahapan kerja bersama mitra ataupun pelanggan kita. Sulitkah? Pada awalnya ya karena aktivitas ini menuntut kesediaan berpikir tidak hanya dalam konteks perusahaan kita sendiri. Secara garis besar,tahapan menuju superefisiensi terbagi atas pemetaan,pengorganisasian,desain ulang dan implementasi.

Pada tahap pemetaan diindetifikasi proses-proses bisnis yang layak untuk didesain ulang,serta pemilihan mitra yang tepat untuk diajak bekerja sama. Contoh adalah salah satu klien kami, sebuah perusahaan manufaktur mengontak perusahaan kami untuk menanyakan apakah ada kesulitan dengan sistim pembelian,pembayaran,maupun bentuk kerjasama lain yang selama ini berlangsung. Sementara itu kedekatan hubungan dengan mitra ataupun pelanggan memungkinkan kita untuk mengenal mereka tidak hanya pada taraf superfisial namun juga sampai sistem dan cara kerja mereka. Dengan demikian kita akan sampai pada pemahaman akan kompetensi teknis mereka,serta kecocokan budaya dalam menerapkan desain ulang antar perusahaan.

Selanjutnya pengorganisasian dengan tanggung jawab utama adalah membuat batasan dan aturan kesepakatan kerjasama; misalnya apa saja yang akan diinvestasikan oleh masing-masing pihak,bagaimana pembagian keuntungan nantinya,serta bagaimana tatacara penyelesaian konflik yang mungkin timbul.

Menginjak tahap desain ulang,dirancang proses baru yang menyeluruh dan dapat mencapai sasaran performance yang diinginkan oleh kedua belah pihak yang terlibat. Rambu-rambu yang harus diperhatikan meliputi lima hal, yaitu :

1. Tujuan dispesifikkan dan diarahkan ke pelanggan utama

2. Proses-proses didesain saling terkait

3. Dijaga benar agar tidak ada aktivitas duplikasi

4. Setiap aktivitas akan dikerjakan oleh pihak yang paling ahli,dan

5. Pengoperasian keseluruhan proses berawal dari dari satu database.

Tahap terakhir, yaitu implementasi menuntut kesabaran berkaitan dengan penerapan sistem baru secara menyeluruh serta sosialisasinya kepada setiap orang di setiap perusahaan. Semboyan “Think big,starts small,move fast” rasanya paling tepat diterapkan pada tahap ini. Dan upaya komunikasi yang terus menerus,mengingat tidak hanya perubahan cara kerja yang dilakukan,namun juga pemikiran dan sikap terhadap perusahaan lain yang bermitra dalam melakukan perubahan ini.

Bagaimana,siapkah perusahaan anda menjadi salah satu pelopor superefisiensi?