Evaluasi Jabatan

0

Written on 18.21 by Ed's-HRM

Ketika seseorang bertanya kepada saya dan ini dilakukan dalam sebuah diskusi mengenai pengelolaan SDM perusahaan, orang itu bertanya mengenai perbedaan dua buah metode evaluasi jabatan yaitu antara Hay Methode dan CRG, kemudian saya menjawab berdasarkan pengalaman karena saya cukup familiar dengan kedua metode ini. Diskusi semakin berkembang karena semua yang hadir mencoba mengemukakan pendapatnya dan ini menunjukkan sesuatu hal yang positif karena semua ingin berbagi pengalaman. Namun sayang, diskusi mulai keluar dari konteks awal yaitu mengenai evaluasi jabatan, sebagian orang semakin terbawa arus dengan penjelasan kearah evaluasi personil. Bagi saya dan orang-orang yang berpengalaman dalam evaluasi jabatan (Evaluator), tentu bukan hal yang harus ditanggapi secara serius, karena hal tersebut akan terjadi apabila kita akan melakukan tugas sebagai evaluator jabatan.

Melakukan evaluasi jabatan (Job Evaluation) sangat berbeda dengan melakukan evaluasi personil (assessment), namun dalam pelaksanaannya seringkali terjadi perdebatan karena para evaluator tidak dapat melepaskan faktor subyektifitas yaitu dengan melihat para pemegang jabatan. Biasanya ini terjadi ketika yang melakukan evaluasi jabatan adalah personil dari perusahaan itu sendiri, dan melakukan evaluasi jabatan terhadap jabatan yang sudah eksis. Faktor subyektifitas inilah yang sering terjadi di setiap perusahaan, sehingga dalam diskusipun faktor ini masih terus terbawa, apalagi seperti kita ketahui bahwa hasil evaluasi jabatan biasanya akan digunakan untuk penentuan grade penghasilan.


Evaluasi Jabatan dilakukan karena banyak perusahaan, kesulitan dalam menentukan peringkat gaji para karyawannya, terutama untuk perusahaan besar yang memiliki banyak karyawan dan banyak jabatan, diperlukan pengaturan yang lebih jelas lagi, terutama dalam hal pemberian gajinya, tentu kita tidak ingin, para personil pada jabatan yang mempunyai kompleksitas tinggi akan mempunyai gaji yang sama dengan para personil pada jabatan yang tingkat kompleksitasnya rendah ( diferrent job equal pay), tetapi jika ini terjadi maka perusahaan akan mengalami turn over yang tinggi terutama untuk personil pada jabatan yang kompleksitasnya lebih tinggi. Untuk menghindari hal itu maka perusahaan mengatur gaji para personilnya berdasarkan jabatan masing-masing (differrent job different pay). Selain itu untuk mendapatkan besaran gaji yang sesuai, maka sebaiknya perusahaan dapat bekerjasama dengan lembaga tertentu untuk mendapatkan hasil survey gaji ( survey gaji akan dibahas pada tulisan lain)

Setelah evaluasi jabatan dilakukan dan diketahui bobot/nilai jabatannya, selanjutnya adalah melakukan evaluasi personil (assessment), kegiatan ini dilakukan untuk menempatkan setiap personil yang sesuai antara kemampuan personil dengan syarat jabatan, sehingga kita akan melihat bahwa setiap personil akan duduk pada kursi yang pas, dan personil dimaksud akan mendapat imbalan/gaji yang pas juga.


Dari uraian pada dua alinea terakhir, terlihat jelas bahwa evaluasi jabatan berbeda dengan evaluasi personil, dalam artian evaluasi jabatan itu bertugas membuat kursi, sementara evaluasi jabatan bertugas mencari siapa yang cocok untuk menduduki kursi yang dibuat tersebut. Mudah-mudahan penjelasan diatas dapat memberikan arahan kepada kita dalam melakukan evaluasi jabatan di kemudian hari.

Dalam tulisan ini, saya akan memberikan pengetahuan tentang metode apa saja yang sering digunakan oleh perusahaan dan atau konsultannya ketika melakukan evaluasi jabatan, metode-metode itu dapat dijelaskan sebagai berikut :


  1. Metode Rangking (Rangking Methode)

Metode rangking memang simple atau praktis, yaitu hanya dengan membandingkan setiap jabatan yang ada didalam organisasi perusahaan, dengan melihat kemampuan yang dipersyaratkan, effort (fisik dan mental), tanggung jawab dan kondisi pekerjaan.

Metode ini sebaiknya digunakan untuk mengevaluasi jabatan yang jumlahnya tidak banyak, maksimal 30 Jabatan.


  1. Metode Klasifikasi ( Classification Methode)

Metode klasifikasi ini adalah dengan menempatkan jabatan-jabatan pada grade atau kategori tertentu yang telah dibuat sebelumnya atau yang sudah menjadi standar, kemudian dibandingkan apakah sudah sesuai atau tidak, dan proses terus dilakukan sampai betul-betul sesuai.

Metode ini lebih mudah dari metode rangking namun kemungkinan ada kesulitan jika menemukan jabatan yang diluar kategori atau standar atau terpaksa mengilangkan jabatan karena tidak ada kategorinya.


  1. Metode Perbandingan Faktor

Metode ini membandingkan faktor-faktor suatu jabatan yang biasanya dikompensasi dan jumlah faktor yang dibandingkan tidaklah banyak, biasanya 4 atau 5 faktor, dan biasanya yang dibandingkan adalah kemampuan, effort (fisik dan mental), tanggung jawab dan kondisi pekerjaan.

Karena dalam metode ini yang dinilai adalah faktor-faktor yang bisa dikompensasi maka kita harus mampu mempunyai data apa saja yang dapat dikompensasi serta harus mempunyai rentang antara batas bawah (terendah) dan batas atas (tertinggi). Semakin tinggi nilai kompensasinya semakin tinggi bobot/nilai jabatan itu.


  1. Metode Point

Metode ini memberikan point tertentu kepada faktor-faktor suatu jabatan seperti kemampuan, effort (fisik dan mental), tanggung jawab dan kondisi pekerjaan, kemudian seluruh hasil penilaian pada setiap faktor, dijumlahkan sehingga didapat jumlah total point tertentu, semakin tinggi jumlah pointnya semakin tinggi juga nilai jabatannya.


Saat ini, metode yang sering bahkan banyak digunakan adalah dengan metode point, hal ini disebabkan banyak konsultan yang membuat bermacam-macam cara atau jenis evaluasi jabatan dengan metode point, tentu semakin banyak jenis dan caranya akan semakin baik, karena kita akan dapat memilih mana yang cocok atau sesuai dengan perusahaan kita. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam memilih metode evaluasi jabatan ini, yaitu :


  1. Dapat dan mudah dimengerti oleh orang lain
  2. Dapat diterima oleh setiap orang
  3. Dapat memiminalkan faktor bias, terutama subyektifitas
  4. Dapat diaplikasikan untuk semua jenis jabatan atau berlaku umum
  5. Meminimalkan terjadinya debat kusir diantara para evaluator

Dengan kelima persyaratan diatas, saya yakin bahwa kegiatan evaluasi jabatan akan berjalan dengan baik dan hasilnya merupakan yang terbaik juga, sekarang terserah kepada kita mau pilih yang mana.

PKWT dan PKWTT

0

Written on 18.19 by Ed's-HRM


Sering terdengar di media elektronik maupun tertulis pada media cetak bahkan dalam keseharian kita kala berkumpul ataupun dalam acara tertentu, sering diperbincangkan secara luas mengenai keberadaan tenaga kontrak, terutama yang saat ini ada dihampir semua perusahaan di Indonesia. Sebenarnya didalami Undang Undang nomor : 13 Tahun 2003, mengenai ketenagakerjaan, kita tidak akan pernah menemukan istilah tenaga kontrak, tetapi didalam UU tersebut menjelaskan mengenai adanya istilah tenaga kerja dan Perjanjian Kerja. Jika demikian apakah istilah tenaga kontrak mempunyai konotasi yang kurang baik, apabila kita kaitkan dengan sejarah tenaga kerja Indonesia dimasa penjajahan, yang sering disebut dengan istilah kuli kontrak, namun dalam tulisan ini kita tidak membahas lebih dalam mengenai istilah-istilah dimaksud.

Istilah Perjanjian kerja sebagiamana tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dengan demikian, pengertian istilah tersebut memberikan kejelasan bahwa setiap pekerja/buruh dalam hal ini tenaga kerja, yang melakukan pekerjaan pada sebuah unit kerja mempunyai perjanjian kerja dengan pengusaha terkait. Yang membedakan dari perjanjian kerja seseorang dengan orang lain adalah :
1. Waktu, yaitu masa berlakunya perjanjian kerja.
2. Jenis Pekerjaan, yaitu dalam perjanjian kerja memuat kegiatan pekerjaan tertentu
3. Volume pekerjaan, yaitu perjanjian kerja berdasarkan volume kerja yang harus diselesaikan
4. Musim, yaitu perjanjian kerja yang diberlakukan hanya pada musim tertentu saja.

Menilik dari judul tulisan ini, maka materi bahasan tertuju pada point. 1 diatas, yaitu mengenai perjanjian kerja berdasarkan waktu. Perjanjian kerja yang berdasarkan waktu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Dalam hal Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sering oleh banyak orang diasumsikan sebagai tenaga kerja tetap, karena masa berlaku perjanjian kerjanya tidak batasi oleh selang (interval) waktu tertentu namun sebenarnya tenaga kerja tetap ini, juga mempunyai batasan yang jelas, dan yang akan membatasi tenaga kerja tetap ini adalah masa kerjanya di dalam suatu perusahaan. Sejauhmana batasan-batasan itu dapat diberlakukan, tentu sangat tergantung dari kebijakan-kebijakan para pengambil keputusan di lingkungan perusahaan/institusi pemberi kerja, semua batasan-batasan itu tertuang dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Peraturan Kerja Bersama (PKB), dan secara normatif batasan-batasan itu adalah :
1. Tenaga kerja Meninggal Dunia
2. Memasuki usia pensiun
3. Tenaga kerja melakukan pelanggaran berat, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga sangsi yang diberikan merupakan pemutusan hubungan kerja (PHK)
4. Tenaga kerja melakukan pelanggaran hukum yang berlaku sehingga ada penetapan atau putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Karena merupakan batasan normatif, maka pemberlakuannya tidak hanya kepada tenaga kerja tetap (PKWTT) tetapi juga bagi tenaga kerja yang terikat oleh Perjanjian Kerja lainya, seperti PKWT, dengan demikian tenaga kerja PKWT batasannya ditambah dengan masa berlaku dari perjanjian kerja.

Secara keseluruhan tidak terlalu banyak perbedaan antara PKWT dengan PKWTT, hanya saja penerapan di lapangan atau aplikasi dari kedua perjanjian kerja tersebut mempunyai perbedaan atau gap yang seolah-olah menjadi lebar. Akar permasalahan dari melebarnya perbedaan itu adalah :

1. Para pencari kerja tidak punya peluang untuk bernegoisasi, karena kemampuan/skill mereka sangat terbatas sehingga tidak punya posisi tawar yang tinggi (low bargaining position). Akan lain halnya bagi mereka yang mempunyai kemampuan/skill tinggi dan sangat dibutuhkan perusahaan, tentu mereka akan lebih senang sebagai “tenaga kontrak” karena mereka akan mendapatkan posisi tawar yang tinggi, sementara itu secara personal mereka tidak ingin terikat terlalu lama dengan sebuah perusahaan karena akan menghilangkan kesempatan atau peluang mereka ditempat lain sehingga nantinya akan menutup peluang mereka mendapatkan yang “terbaik”

2. Para pemberi kerja (pengusaha) lebih senang memberlakukan kepada setiap tenaga kerjanya sebagai tenaga kontrak (PKWT) apalagi kemampuan/skill mereka sangat terbatas, hal ini dilakukan untuk menghindarkan pembayaran pesangon apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terutama terhadap tenaga kerja yang tidak perform dan atau “nakal/bandel”.

3. Dalam melaksanakan kegiatan pekerjaan sehari-hari, para tenaga PKWT dan PKWTT ditempatkan pada jabatan dan atau pekerjaan yang sama, namun berbeda dalam hal penghasilan/gaji. Selain menimbulkan kecemburuan sosial antara para tenaga kerja, hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap perundangan-undangan yang berlaku.

4. Sebaliknya para pengusaha, sangat ingin mengikat para tenaga kerja yang mempunyai perform dan kemampuan/skill tinggi serta sangat dibutuhkan perusahaan, dengan iming-iming yang menjanjikan, dengan harapan agar mereka bersedia untuk terus bergabung di perusahaan.

Berdasarkan hal-hal diatas, jelaslah bahwa telah terjadi dikotomi antara tenaga kerja PKWT dan tenaga kerja PKWTT yang secara peraturan perundangan, sebenarnya tidak jauh berbeda, namun karena disebabkan oleh penerapan ketentuan undang-undang tentang perjanjian kerja, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh setiap perusahaan, maka keduanya cenderung menimbulkan perbedaan yang mencolok. Agar keduanya tidak lagi menjadi polemik di tingkat Pengusaha dan juga ditingkat tenaga kerja maka harus diupayakan semaksimal mungkin adalah dengan kembali menegakkan peraturan perundangan yang berlaku, namun di lain pihak bahwa yang paling utama dari semua itu adalah bagaimana kita semua yang terlibat untuk terus berupaya terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dapat atau mampu membangun sebuah institusi kelembagaan yang menghasilkan tenaga kerja dengan kemampuan/skill yang tinggi. Namun demikian tugas dan tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada insitusi kelembagaan tertentu tetapi setiap perusahaan juga mempunyai niat untuk terus mengembangkan SDM perusahaan, hingga suatu saat nanti setiap perusahaan mempunyai tenaga kerja yang handal, yang tentu saja mampu untuk mendorong kemajuan perusahaan sehingga dapat berkompetitif di pasar, baik lokal maupun internasional.

HUMAN CAPITAL

0

Written on 02.14 by Ed's-HRM

Sebuah Perusahaan ritel di Amerika Serikat yang bernama Sears & Roebuck&Co pada tahun 1990 hampir bangkrut namun dalam perjalan waktu mampu bangkit kembali dan mampu berkompetisi lagi. Sesuatu yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana sebuah perusahaan yang hampir bangkrut tiba-tiba mampu bangkit dan jawabannya adalah bahwa perusahaan melakukan perubahan Visi dan falsafah perusahaan. Bila sebelumnya mereka selalu fokus menonjolkan atau mengutamakan kepentingan penanam modal (investor), hal ini dirubah dengan falsafah baru mereka yang berbunyi :

Untuk menjadikan Sears sebagai perusahaan yang menarik untuk investasi, maka sears harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk berbelanja. Dan untuk menjadikan Sears sebagai tempat yang menyenangkan untuk berbelanja maka Sears harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk bekerja”

Dengan pernyataan diatas dapat diambil sebuah makna yang dalam bahwa nasib perusahaan bukanlah ditentukan oleh modal financial,mesin,teknologi dan modal tetap tetapi sebenarnya memang berada ditangan “modal/kapital Intangible” yang tidak lain adalah Kompetensi SDM mereka. Kemudian muncullah sebuah istilah yang kita kenal sampai saat ini yaitu “Human Capital” atau dalam bahasa Indonesia disebut Modal Manusia atau Modal Insani, namun karena ini lebih merupakan istilah, maka terserah kepada masing-masing untuk menggunakan istilah-istilah itu.

Istilah modal atau capital adalah menekankan bahwa sumber daya manusia sebenarnya adalah sebuah asset (modal) bagi sebuah organisasi bisnis, yang justru menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi tersebut merealisasikan visi dan strateginya. Banyak perusahaan saat ini juga mencoba istilah ini untuk mengangkat atau memaksimalkan pengetahuan,keterampilan dan kemampuan para karyawannya, sehingga para pengelola perusahaan harus mampu merekrut dan mengembangkan potensi-potensinya didapat dari karyawannya yang merupakan Human Capital bagi perusahaan.

Pada prakteknya bagi perusahaan yang paling penting adalah setiap kayawannya diberi kesempatan mengeluarkan seluruh pengetahuan, keterampilan, kemampuannya dalam bentuk ide-ide yang langsung diungkapkan kepada para pengambil keputusan, dengan demikian terlihat bahwa mereka mampu mengeluarkan idenya tanpa harus terhalang oleh birokrasi organisasi dan perusahaan juga mampu memberikan kesempatan-kesempatan dengan tujuan agar pengetahuan pribadi menjadi pengetahuan publik dan pengetahuan tersembunyi menjadi eksplisit. Selanjutnya yang pasti bahwa ide-ide terbaiklah yang akan sampai kepuncak dan ide-ide itulah yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan.

Berkaitan dengan nilai tambah yang diberikan karyawan kepada perusahaannya, mari kita petakan peran karyawan dan nilai tambah yang diberikan kepada perusahaan, sebagaimana table dibawah ini :

Sulit digantikan,nilai tambah rendah

Sulit Digantikan,nilai tambah tinggi

Mudah digantikan,nilai tambah rendah

Mudah digantikan,nilai tambah tinggi



Dari tebel diatas dapat dijelaskan bahwa karyawan yang terampil dan setengah terampil terdapat pada kuadran kiri bawah. Perusahaan mungkin memerlukan orang-orang seperti ini, mungkin banyak, namun kesuksesan perusahaan tidak tergantung pada mereka sebagai individu. Pada kuadran kiri atas, merupakan kumpulan karyawan yang telah belajar berbagai macam aktivitas dan keterampilan, tetapi tidak menjadi faktor utama. Misalnya pekerja pabrik yang trampil,sekretaris yang berpengalaman atau staff seperti auditing dan supervisor. Mereka mungkin sulit untuk digantikan dan melakukan pekerjaan pentingm namun memiliki nilai tambah yang rendah bagi pelanggan. Karyawan pada kuadran kanan bawah memiliki nilai tambah yang tinggii bagi pelanggan, namun sebagai individu mereka kurang berguna, serta mudah digantikan. Kebanyakan yang memiliki lavarage skill termasuk dalam golongan ini. Misalnya arsitek,dokter. Pada kuadran kanan atas, karawan atau orang-orang yang tidak tergantikan dalam perusahaan dan hampir tidak tergantikan sebagai individu. Sebagian barada pada pucuk pimpinan organisasi perusahaan,namun kebanyakan tidak. Mereka bisa saja ahli riset,tenaga penjual yang hebat, manajer proyek atau ahkan seniman seperti bintang film dan penyanyi.

Dalam kontek kuadran-kuadran diatas, maka yang berada pada kuadran kanan atas merupakan human capital perusahaan yang teridiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman dalam menciptakan produk dan jasa yang menjadi sumber berpindahnya pelanggan ke pesaing. Semakin besar intensitas human capital sebuah bisnis, yaitu semakin besar presentase pekerja yang sulit digantikan dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi bagi pelanggan, semakin tinggi pekerja tersebut dapat menuntut upah atas jasanya, dan semakin kuat perusahaan dalam menghadapi pesaingnya,karena akan lebih sulit bagi para pesaingnya untuk menyamai keterampilan yang dimiliki perusahaan tersebut.